Selasa, 02 Desember 2014

Karakteristik dan Fungsi dari Perangkat Input & Output



Input Device
Unit masukan (input device) ini berfungsi sebagai media untuk memasukkan data dari luar ke dalam suatu memori dan processor untuk diolah guna menghasilkan informasi yang diperlukan. Input devices atau unit masukan yang umumnya digunakan personal computer (PC) adalah keyboard dan mouse, keyboard dan mouse adalah unit yang menghubungkan user (pengguna) dengan komputer. Selain itu terdapat joystick, yang biasa digunakan untuk bermain games atau permainan dengan komputer. Kemudian scanner, untuk mengambil gambar sebagai gambar digital yang nantinya dapat dimanipulasi. Touch panel, dengan menggunakan sentuhan jari user dapat melakukan suatu proses akses file. Microphone, untuk merekam suara ke dalam komputer.
Data yang dimasukkan ke dalam sistem komputer dapat berbentuk signal input dan maintenance input. Signal input berbentuk data yang dimasukkan ke dalam sistem komputer, sedangkan maintenance input berbentuk program yang digunakan untuk mengolah data yang dimasukkan. Jadi Input device selain digunakan untuk memasukkan data dapat pula digunakan untuk memasukkan program. Berdasarkan sifatnya, peralatan input dapat digolongkan menjadi dua yaitu :

·         Peratalan input langsung, yaitu input yang dimasukkan langsung diproses oleh alat pemroses. Contohnya : keyboard, mouse, touch screen, light pen, digitizer graphics tablet, scanner, dll.
·         Peralatan input tidak langsung, input yang melalui media tertentu sebelum suatu input diproses oleh alat pemroses. Contohnya : punched card, disket, harddisk, dll.

Contoh perangkat input computer, antara lain:
1. Keyboard
Keyboard merupakan perangakat masukan ynag menyerupai mesin ketik yang berfungsi untuk memasukkan data berupa teks (huruf,angka,tanda baca, atau karakter). Penciptaan keyboard berasal dari model mesin ketik yang diciptakan oleh Christopher Latham pada tahun 1868. Keyboard yang digunakan sekarang adalah jenis QWERTY. Jumlah tombol pada keyboard berjumlah 104 tombol. Keyboard sekarang yang kita kenal memiliki beberapa jenis port yaitu port serial, PS/2, USB, dan wireless. Jenis-jenis keyboard, yaitu: QWERTY, DVORAK, KLOCKENBERG.
2. Mouse
Mouse merupakan alat penunjuk ( screen pointing device) pada computer. Selain menggerakkan kursor, mouse juga dilengkapi dengan tombol klik kanan dan kiri yang digunakan sebagai pengganti enter dan fungsi Select pada keyboard.
3. Light Pen
Light Pen merupakan perangkat masukan berupa pena yang disambungkan kabel debelakangnya, dimana kabel ini akan dihubungkan langsung ke computer. Light Pen menggunakan cahaya ketika menerima masukan.
4. Joystick
Joystick merupakan perangkat keras pada computer yang biasanya digunakan untuk game computer. Alat ini memiliki tombol dan sebuah tuas yang bisa digerakkan kesegala arah untuk mengendalikan gerakan objek pada monitor.
5. Touch Pad
Touch Pad merupakan perangkat penunjuk berupa tempat datar untuk menggeser pointer pada layar monitor dengan menempelkan jari diatasnya, kemudian digeser kea rah yang dikehendaki.
6. Trackball
Trackball merupakan alat masukan yang prinsip kerjanya hamper sama dengan mouse. Bedanya jika ingin menggerakkan pointer mouse dilayar diperlukan pergeseran mouse, sedangkan trackball dilakukan dengan menggulirkan bola trackball kearah yang dikehendaki dengan jari.
7. Kamera Digital
Alat ini bekerja dengan memfokuskan cahaya kedalam Charge Couple Device (CCD) yang terdiri dari elemen-elemen sensitive terhadap cahaya, seperti adanya titik(dot) yang membuat gambar.
8. Kamera Video Digital Mini
Kamera video digital mini merekam dalam bentuk kaset. Kualitas gambar dan suara kamera video digital jauh lebih baik daripada video comcoder biasa.
9. Scanner
Scanner merupakan alat masuka yang didesain untuk menyalin atau mengopi teks ataupun gambar grafis dalam computer untuk kemudian disimpan dalan bentuk file.
10. Digitizer
Digitizer merupakan alat masukan yang menggunakan media magnetis yang fungsinya untuk memindahkan gambar dari suatu media kertas kekomputer.

Output Device
Output device bisa diartikan sebagai peralatan yang berfungsi untuk mengeluarkan hasil pemrosesan ataupun pengolahan data yang berasal dari CPU kedalam suatu media yang dapat dibaca oleh manusia ataupun dapat digunakan untuk penyimpanan data hasil proses. Jenis dan media dari output device yang dimiliki oleh komputer cukup banyak. Output yang dihasilkan dari pengolahan data dapat digolongkan ke dalam empat macam bentuk sebagai berikut:
Beberapa jenis perangkat keluaran, sebagai berikut:
A.      Monitor
Monitor merupakan perangkat untuk menampilkan hasil olahan computer dengan cepat dan juga sebagai alat untuk berinteraksi dengan pengguna. Monitor dapat menampilkan teks atau gambar pada layar dengan cara menampilkan sejumlah titik cahaya (pixel) yang dikombinasikan membentuk teks ataupu gambar yang dimaksud. Jumlah pixel yang ditampilkan akan menentukan resolusi monitor.
Menurut jenisnya, monitor dibedakan menjadi 5, yaitu:
1)   Monitor monokrom, yaitu monitor yang menghasilkan teks warna hijau.
2)   Monitor Color Graphic Adapter(CGA) yaitu monitor yang menghasilkan teks berwarna.
3)   Monitor EGA ( Enhanced Graphic Adapter) yaitu monitor yang menampilkan teks berwarna.
4)   Monitor VGA ( Video Graphic Adapter) yaitu monitor yang mampu menghasilkan teks dan     gambar.
5)   Monitor SVGA ( Super Video Graphic Array) yaitu monitor yang memiliki resolusi gambar yang tinggi.
B.       Printer
Printer merupakan perangkat yang digunakan untuk menghasikan tampilan yang akan dicetak melalui media kertas maupun media lainnya yang mendukung seperti plastic transparansi dan lain-lain. Berdasarkan cara kerjanya printer dibedaka menjadi dua, yaitu:
1)   Impact Printer
Impact printer adalah jenis printer yang didalamnya menghasilkan suatu hurif atau gampar memakai ketukan secara fisik. Dalam kategori ini ada dua jenis yaitu sebagai berikut:
a.    Dot matrix adalah printer yang cetakannya adalah kumpulan titik-titik yang membentuk karakter.
b.    Daisy wheel adalah printer yang cetakan hurufnya menyerupai mesin ketik.
2)   Nonimpact Printer
Nonimpact printer merupakan jenis printer yang didalamnya menghasilkan suatu huruf atau gambar tanpa memakai ketukan secara fisik, tetapi dengan menggunakan tinta toner. Nonimpact printer dibagi menjadi dua, yaitu:
a.    Ink-jet merupakan printer yang menggunakan tinta cair sebagai alat untuk mencetak.
b.    Laser jet merupakan printer yang menggunakan tinta kering (serbuk) untuk mencetak dengan prinsip kerja menggunakan sinmar laser.
C.       Plotter
Plotter merupakan perangkat keluaran yang dapat menghasilkan grafik atau gambar dengan kualitas tinggi dan berwarna. Plotter sering kali digunakan untuk membuat peta, ilustrasi tiga dimensi, dan gambar=ganmbar arsitektur. Berdasarkan prinsip kerjanya plotter dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1)   Plotter pena
2)   Plotter elektrostatis
3)   Plotter Thermal
Berdasarkan perkembangannya jenis plotter dibedakan menjadi dua yaitu:
1)      Plotter pemotong
2)      Plotter format tebal

D.      Speaker
Speaker merupakan perangkat yang digunakan untuk mendapatkan atau mendengarkan informasi dalam bentuk suara. Speaker ada dua macam yaitu speaker internal dan speaker eksternal. Untuk bisa menghasilkan olahan suara maka computer perlu dilengkapi dengan sound card.
E.       Proyektor
Proyektor merupakan perangkat keluaran dalam bentuk visual yang menghasilkan gambar bergerak ( video output). Sehingga, selain bisa ditampilkan melalui monitor, keluaran yang berupa teks atau gambar bisa juga ditampilkan dalam proyektor. Gambar yang ditampilkan melalui proyektor akan mempunyai ukuran lebih besar dibandingkan dengan melalui monitor.

Sabtu, 22 November 2014

Makalah Perbandingan Hukum Perdata


BAB I
PENDAHULUAN


Sejarah Perkembangan
Perbandingan Hukum sebagai ilmu merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang relatif masih sangat muda, karena baru tumbuh secara pesat pada akhir abad XIX atau awal abad XX.
Sebelum itu memang sudah dilakukan usaha-usaha untuk memperbandingkan beberapa sistem hukum satu sama lainnya, akan tetapi waktu itu belumlah dilakukan penelitian secara signifikan dan sistematis dengan maksud mencapai suatu tujuan tertentu. Sama halnya penelitian secara terencana belum dilakukan, kerena segala sesuatunya masih berjalan secara insidentiRene David mengemukakan bahwa perkembangan Perbandingan Hukum merupakan ilmu yang sama tuanya dengan ilmu hukum itu sendiri. Namun dalam perkembangannya, Perbandingan Hukum sebagai ilmu pengetahuan baru terjadi pada abad-abad terakhir ini. Demikian pula menurut Adolf F. Schnitzer, bahwa baru pada abad ke-19 Perbandingan Hukum itu berkembang sebagai cabang khusus dari disiplin ilmu hukum. 

Perbandingan Hukum berkembang sangat pesat pada permulaan abad ke-20. Hal ini tidak terlepas dari Perkembangan dunia pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Konferensi-konferensi internasional pada waktu itu terjadi di Den Haag mengenai hukum internasional yang menghasilkan traktat-traktat di lapangan transport kereta api, pos, hak cipta, hak milik industri, dan sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan itu dimungkinkan dan dipersiapkan oleh studi Perbandingan Hukum. Oleh karena itu studi ini dianggap demikian penting sehingga ditarik kesimpulan, bahwa Perbandingan Hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri
Perkembangan Perbandingan Hukum sebagai ilmu disebabkan karena tumbuhnya suatu kebutuhan di kalangan para sarjana hukum pada waktu itu untuk kembali kepada prinsip universalisme yang selalu melekat pada semua cabang ilmu pengetahuan termasuk ilmu pengetahuan hukum setelah mengalami masa ketika prinsip nasionalisme menguasai alam pikiran manusia. Dalam perkembangannya sekarang, Perbandingan Hukum tidak mempunyai obyek tersendiri.
Akan tetapi mempelajari hubungan-hubungan sosial yang telah menjadi obyek studi dari cabang-cabang hukum yang telah ada.

Pengertian Perbandingan Hukum
Banyak istilah asing yang menyatakan mengenai Perbandingan Hukum ini, diantaranya adalah Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law (istilah Inggris), Droit Compare (istilah Perancis), Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman).
Di dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan bahwa Comparative Jurisprudence adalah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum.
Menurut H.C Gutteridge, pada hakikatnya Perbandingan Hukum merupakan suatu metode penelitian yang dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan sistem hukum yang satu dengan yang lain.

BAB II
PEMBAHASAN

Klasifikasi Perbandingan Hukum
Untuk memahami lebih mendalam tentang perbandingan hukum, maka perlu pula kita melihat pembagian atau pengklasifikasian perbandingan hukum itu sendiri menurut beberapa ahli ternama:

1. Klasifikasi menurut Prof. Lambert’s
            Prof. Lambert mengklasifikasikan perbandingan hukum menjadi tiga bagian:
            a. Perbandingan Hukum secara Deskriptif
            b. Perbandingan mengenai Sejarah Hukum
c. Perbandingan mengenai Peraturan Hukum
Perbandingan hukum secara deskriptif mencoba untuk mengeinventarisasi sistem hukum pada masa lalu dan masa kini sebagai satu kesatuan maupun peraturan terpisah lainnya, di mana dalam sistem tersebut dibuat beberapa kategori hubungan hukum.
            Perbandingan mengenai sejarah hukum mencoba untuk menemukan irama atau hukum alam dengan cara membangun sejarah hukum secara universal sebagai rangkaian dari fenomena sosial yang secara langsung melihat perkembangan dari pelembagaan hukum.
            Perbandingan mengenai peraturan hukum atau perbandingan yurisprudensi mencoba untuk menjelaskan mengenai batang tubuh secara umum di mana doktrin hukum nasional diperuntukan untuk mencabangkan hukum itu sendiri sebagai hasil dari perkembangan studi hukum dan bangkitnya kesadaran akan hukum internasional.

2. Klasifikasi menurut Wigmore
            Wigmore membagi perbandingan hukum menjadi tiga kategori:
            a. Perbandingan Nomoscopy
            b. Perbandingan Nomothetics
            c. Perbandingan Nomogenetis
Perbandingan nomoscopy memastikan dan menjelaskan sistem hukum lainnya sebagai sebuah fakta. Perbandingan ini menaruh perhatian pada deskripsi secara formal hukum di berbagai sistem hukum.
Perbandingan nomothetics mencoba untuk memastikan politik dan manfaat relatif dari institusi yang berbeda dengan suatu pandangan untuk memperbaiki peraturan hukum. Dengan kata lain, perbandingan ini membuat penaksiran dari manfaat-manfaat relatif dari peraturan hukum berdasarkan perbandingan.
Perbandingan nomogenetics mencoba untuk mengikuti jejak perkembangan dari berbagai sistem dalam hubungannya dengan kronologi dan sebab-sebab lainnya. Dengan kata lain, perbandingan ini menaruh perhatian untuk mempelajari perkembangan sistem-sistem hukum yang berhubungan satu sama lainnya.

3. Klasifikasi menurut Kaden
Kaden mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai berikut:
a.       Perbandingan Formal (Formelle Rechstver Gleichung)
b.      Perbandingan Dogmatik (Dogmatische Rechsvergleichung)
Perbandingan formal merupakan perbandingan berdasarkan penelitian terhadap sumber-sumber hukum, misalnya, bobot substansi yang diberikan pada berbagai sistem terhadap peraturan hukum, perkara hukum dan kebiasaan, serta aplikasi dari metode yang berbeda tentang teknik hukum guna menafsirkan berbagai peraturan. Metode ini, dengan kata lain, melihat berbagai sistem yang berbeda dari peraturan hukum dan kebiasaan serta berbagai teknik untuk melakukan interpretasi terhadap peraturan-peraturan hukum.
Perbandingan dogmatik meletakan perhatiannya dengan memberikan berbagai solusi dari masalah yang dialami oleh sistem hukum yang berbeda. Metode ini memastikan adanya pengaplikasian hasil berdasarkan perbandingan berbagai masalah hukum di suatu negara.

4. Klasifikasi menurut Kantorowicz
Ia mengklasifikasikan perbandingan hukum sebagai berikut:
a.       Perbandingan Hukum Geografis
b.      Perbandingan Hukum Materiil
c.       Perbandingan Hukum Metodis
Perbandingan hukum geografis secara tidak langsung melakukan penelitian dengan mencari persamaan struktur hukum secara umum di berbagai sistem hukum.
Perbandingan hukum materiil yaitu penelitian dengan memperbandingkan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan substansi pokok hukum.
Perbandingan hukum metodis yaitu proses di mana tidak sepenuhnya merupakan analisa, namun mempunyai peranan penting untuk melihat secara sistematik substansi pokok hukum.

5. Klasifikasi menurut Max Rheinstein
Rheinstein telah membagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:
a.       Perbandingan Makro
b.      Perbandingan Mikro
Perbandingan makro, yaitu perbandingan dengan penekanan pada keseluruhan sistem hukum, seperti, “Anglo-Amerika Common Law”, “Civil Law, atau dengan Hukum Romawi, sebagaimana diterapkan di Perancis dan Jerman.
Perbandingan mikro memberikan penekanan pada peraturan hukum secara menyeluruh beserta lembaganya pada dua atau lebih sistem hukum.

6. Klasifikasi menurut Gutteridge
Gutteridge mengklasifikasikan perbandingan hukum menjadi dua bagian:
a.       Perbandingan Hukum secara Deskriptif
b.      Perbandingan Hukum yang dapat Digunakan
Perbandingan hukum secara deskriptif menyangkut dengan deskripsi dari bermacam-macam fakta hukum yang ditemukan di berbagai negara. Perbandingan ini tidak tersangkut paut dengan hasil dari perbandingan. Fungsi utama dari perbandingan hukum secara deskriptif ini adalah untuk menemukan perbedaan antara dua atau lebih sistem hukum terhadap permasalah hukum secara tersendiri.
Perbandingan Hukum yang dapat digunakan terkait dengan pemeriksaan dari fakta-fakta hukum dengan tujuan untuk memperoleh hasil. Hal ini patut dihargai untuk dinyatakan sebagai penelitian hukum, sebab penelitian tersebut akan memberikan suatu kesimpulan dan menggambarkan perbandingan dari berbagai fakta hukum setelah melakukan analisa dan studi yang tepat dan hati-hati. Perbandingan hukum ini merupakan praktik alamiah yang merupakan metode untuk mencapai berbagai tujuan, seperti, reformasi hukum, unifkasi hukum, dan lain sebaginya. Dalam hal ini, prosesnya tidaklah mudah dan hanya ahli hukum yang berpengalaman yang dapat menggunakan metode ini.

BAB III
KESIMPULAN

1.      Perbandingan adalah sumber yang sangat penting dalam perbandingan dan memahami sesuatu.
2.      Perbandingan hukum merupakan suatu metode studi dan pebelitian dengan cara memperbandingkan peraturan perundang-undangan dan institusi hukum dari satu negara atau lebih.
3.      Perbandingan hukum bergerak pada pertanyan ilmiah dan juga merupakan metode studi.
4.      Fungsi utama dari perbandingan yurisprudensi yaitu untuk memfasilitasi legislasi dan perbaikan hukum secara praktis.
5.      Para pencetus dan ahli perbandingan hukum banyak dilakukan di England.
6.      Berbagai ahli hukum telah memberikan perbedaan klasifikasi dari perbandingan hukum.
7.      Klasifikasi oleh Gutteridge mengenai perbandingan hukum dipertimbangkan sebagai salah satu yang mempunyai nilai keseimbangan.
8.      Terdapat beberapa tujuan dan perbandingan hukum. Tujuan terpenting dan secara umum diterima yaitu untuk meningkatkan pemahaman akan sistem hukum dari negara lain.
9.      Terdapat juga beberapa kelemahan dari perbandingan hukum yang dapat menghambat pertumbuhan dari perbandingan hukum.
10.  Perbandingan merupakan proses yang berbeda dengan teknik lain. Oleh karena itu diperlukan kemampuan khusus, pelatihan dan kualifikasi. 

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

-          Diterbitkan dibawah kewenangan Kaisar Justinian.
-          J.H. Wihmore: A Panorama of World’s Legal System, Saint Paul, Vol. iii, hal. 1120.
-          Rechtsvergleichendes Handworterbuch, Vol. IV, p. 17.
-          Problemender straf rechstver gleichung sebagaimana dijelaskan oleh
-          Gutteridge in Comparative Law, hal. 7.
-          Comparative Law and Legal System, The International Encyclopedia of Social
-          Sciences.Comparative Law, Edisi ke-2, hal. 8.
-          Ibid, hal. 9.

Problematika Hukuman Mati Berkaitan Dengan Ham (Hak Asasi Manusia) Di Indonesia


A.  PENDAHULUAN
            Perdebatan tentang hukuman mati sudah cukup lama berlangsung dalam wacana hukum pidana di Indonesia. Dari pendekatan historis dan teoritik, hukuman mati adalah pengembangan teori absolut dalam ilmu hukum pidana. Teori ini mengajarkan tentang pentingnya efek jera (detterence effect) dalam pemidanaan. 
    Dari pendekatan secara historis dan teoritik tersebut maka hukuman mati menjadi wacana pro dan kontra di Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Bagi yang kontra didasarkan pada alasan atau menyangkut HAM (Hak Asasi Manusia), salah satunya ialah hak manusia untuk hidup hal ini didasarkan pada Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya". Keabsahan hukuman mati terus dipertanyakan. ini terkait dengan pandangan “Hukum Kodrat” yang menyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun, atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama hukum atau dalam situasi darurat. Sebagai hak yang dianugerahkan Tuhan, hak hidup tidak bisa diambil oleh manusia manapun meski atasnama Tuhan sekalipun. berangkat dari alasan inilah maka hukuman mati bertentangan dengan Hak Asasi Manusia. 

   Sebaliknya bagi yang pro berpendapat bahwa penjatuhan hukuman mati tidak ada hubungannya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). sebab segala bentuk hukuman pada dasarnya melanggar hak asasi orang. Penjara seumur hidup itu juga merampas hak asasi, sebab pemidanaan dijatuhkan dengan melihat tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Hukuman mati dilakukan terhadap pelanggaran norma hukum yang mengancam suatu perbuatan sehingga harus dihukum demikian. Secara normatif hukuman mati diterapkan di negara-negara modern khususnya Indonesia atas perbuatan-perbuatan yang berhubungan dengan subversi, makar, terorisme, pembunuhan berencana dan lain-lain. Dengan demikian pantaslah orang yang melakukan demikian dijatuhi hukuman mati.

B. PERUMUSAN MASALAH
     Berangkat dari problematika terhadap hukuman mati diatas maka penulis menarik sebuah rumusan masalah yaitu Masih relevankah hukuman mati diterapkan di Indonesia berkaitan dengan Hak Asasi Manusia?

B. PEMBAHASAN
1. Hak Asasi Manusia (HAM)
            Sebelum kita membahas tentang hukuman mati terlebih dahulu kita bahas tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). Pelanggaran Hak Asasi Manusia adalah setiap perbuatan seseoarang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku (Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).
Di dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 juga dapat dipahami bahwa Indonesia sangat menekankan pentingnya perlindungan Hak Asasi Manusia. Di dalam Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Di dalam Pasal 28 I ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk  tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang berlaku surat adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 A dan Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan pengaturan hak asasi manusia, perbedaanya pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua hanya mengatur tentang hak hidup seseorang tetapi Pasal 28 I Undang-Undang Dasar 1945 hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Baik dalam keadaan normal (tidak dalam keadaan darurat, tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan perang  dan dalam keadaan sengketa bersenjata) hak hidup tidak dapat dikurangi oleh Negara, Pemerintah, maupun masyarakat. Hak hidup bersifat non deregoble human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Hak hidup tidak bersifat deregoble human right artinya dapat disimpangi dalam keadaan daraurat atau ada alasan yang diatur di dalam peraturan perundang undangan, misalnya melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati.
Dari pembahasan tentang Hak Asasi Manusia diatas dapat kita simpulkan bahwa Negara menjamin hak hak asasi tiap tiap warga negaranya yang terdapat dalam Undang-Undang 1945.
2. Hukuman Mati Dilihat Dari Sistem Hukum Indonesia
            Seperti yang kita tahu bahwa di Indonesia terdapat 3 (tiga) sistem hukum: Sistem Hukum Barat, Sistem Hukum Islam dan Sistem Hukum Adat. Ketiga sistem tersebut pada akhirnya dikemas menjadi Sistem Hukum Nasional.
            Ketiga sistem hukum tersebut membahas tentang kejahatan terhadap nyawa yang berbeda-beda. Dalam sistem hukum barat yang tertuang dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Pidana mati adalah hukuman yang terberat dari semua yang diancamkan terhadap kejahatan yang berat, misalnya : 
a. Pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di dalam pasal tersebut dijelaskan: Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana (moord) dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 
b. Kejahatan terhadap keamanan Negara, Pasal 104 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Di dalam pasal tersebut dijelaskan: Makar dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden atau dengan maksud merampas kemerdekaan mereka tidak mampu memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana paling lama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. 
c. Melanggar Pasal 124 ayat (3) ke 1 dan ke 2 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) ancaman hukumannya pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 
Dalam sistem hukum adat sering kita dengar bahwa “Nyawa harus dibayar dengan nyawa” hal ini menunjukan bahwa didalam hukum adat mengenal hukuman mati. Begitu pula dengan Sistem hukum islam, Dalam kitab-kitab fikih, pembahasan tentang hukuman mati menjadi bagian dari pebahasan tentang kriminalitas (al-jinayah) seperti pencurian (al-sariqah), minuman keras (al-khamr), perzinaan (al-zina), hukum balas/timbal balik (al-qishas), pemberontakan (al-bughat), dan perampokan (qutta’u tariq).
Dalam wilayah lain, hukuman mati juga dijatuhkan kepada pelaku perzinaan dalam bentuk dilempar batu hingga mati (al-rajam) untuk pelaku perzinaan yang sudah menikah. Juga hukuman mati dilakukan dalam kasus pemberontakan (al-bughat) dan pindah agama (al-riddah) yang dikenal sebagai hukuman (al-had/al-hudud) atas pengingkaran terhadap Islam. Termasuk dalam kasus meninggalkan ibadah salat, beberapa ulama mempersamakannya dengan murtad (al-riddah). Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, kekafiran yang menyebabkan orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan tidak mengerjakan shalat.” Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan, “Orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati (al-hadd/al-hudud)”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Hukuman mati merupakan hukuman puncak, terutama untuk tindak pidana yang dinyatakan sangat berbahaya seperti pembunuhan (al-qital) dimana jika tidak ada pengampunan dari pihak keluarga dengan membayar denda pengganti (al-diyat), maka pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati sebagai bentuk hukum balas/timbal balik (al-qishas). Dalam konsepsi ini, maka kejahatan dibalas dengan hukuman yang serupa. Dalam kasus penetapan hukuman mati (al-qishas), ditetapkan beberapa syarat antara lain: bahwa yang bersangkutan telah melakukan pembunuhan terhadap yang tak “boleh” (haq) dibunuh, atau orang yang “boleh” (haq) dibunuh, akan tetapi belum diputuskan oleh hakim. Pelaku bisa dihukum mati dengan ketentuan bahwa pada saat melakukan kejahatan telah cukup umur (baligh) dan berakal (aqil). 
            Dengan melihat ketiga sistem hukum tersebut diatas dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari hukuman mati diberikan kepada mereka-mereka akibat dari perbuatan melanggar kepentingan-kepentingan orang lain. Disini kita melihat dari perspektif hubungan hukum dan ilmu-ilmu sosial yang tumbuh dalam masyarakat dan dalam hal ini negara juga wajib melindungi warga negaranya terhadap tindak kejahatan terhadap nyawa.
D. KESIMPULAN
            Dari pembahasan tersebut diatas dapat penulis tarik kesimpulan bahwa sebenarnya hukuman mati masih relevan diterapkan di Indonesia jika dilihat dari kacamata hubungan hukum dan ilmu sosial yang tumbuh dalam masyarakat walaupun dalam Undang-undang Dasar 1945 telah dirumuskan bahwa Hak Asasi Manusia dalam hal ini tentang Hak Hidup wajib dilindungi oleh negara yang bersifat non deregoble human right artinya hak hidup seseorang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun akan tetapi demi kepentingan umum negara wajib memberi pembatasan HAM tentang hak hidup berdasarkan perbuatan sesorang agar tujuan-tujuan dari hukum dapat berjalan dengan baik.

Jumat, 21 November 2014

Makalah Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Yang melatar belakangi membuat makalah dengan judul Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ), ini adalah untuk memenuhi Tugas mata kuliah Hukum Pidana Fakultas Hukum Semester II – Universitas Trunojoyo, dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami salah satu bab mengenai tentang Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ).
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama seperti dalam concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive pidana penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana penjara maksimum dijatuhkan selama 15 tahun.
Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Dengan demikian, KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus,artinya pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
Rumusan Masalah
1. Definisi Recidive
2. Recidive kejahatan dan beserta unsur-unsurnya
3. Recidive pelanggaran
4. Dan tujuan penghukuman beserta teori yang ada

Tujuan Permasalahan
1. Agar dapat memahami tentang pengertian Recidive
2. Untuk memahami Recidive kejahatan dan unsur-unsurnya
3. Untuk Memahami Recidive Pelanggaran yang ada pada Buku II KUHP
4. Untuk mengetahui tujuan penghukumannya

BAB II
PEMBAHASAN
A.        Definisi Recidive
            Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi pada dalam hal seorang yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap, kemudian melakukan suatu tindak pidana lagi. Recidive ini menjadi alasan untuk memperberat pemidanaan.

Sistem Pemberatan Pidana Berdasarkan Recidive
Sistem pemberatan pidana berdasarkan recidive dibagi menjadi dua yaitu :
Recidive Umum
Dalam sistem ini dianut bahwasanya setiap pengulangan terhadap jenis tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan alasan untuk pemberatan pidana. Dalam sistem ini tidak dikenal adanya daluarsa recidive.
Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.

B.        Recidive Kejahatan Beserta Unsur-unsur Kejahatan
Recidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive ( kejahatan-kejahatan tertentu ), yang membedakan antara lain :
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan yang sejenis
Mengenai hal tersebut diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu dalam buku II KUHP, yaitu pasal 137 ayat 2, 144 ayat 2, 157 ayat 2, 161 ayat 2, 163 ayat 2,208 ayat 2, 216 ayat 3, 321 ayat 2, 293 ayat 2, dan 303 bis ayat 2.
Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang termasuk dalam kelompok jenis.
Yang termasuk recidive jenis ini diatur dalam pasal 486, 487 dan 488 KUHP.
Menurut Edwin: H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :
Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana.
Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang merugikan.
Harus ada maksud jahat ( mens rea )
Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.
Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri.
Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.

Selanjutnya dapat diuraikan tentang pengertian kejahatan menurut penggunaannya masing-masing :
a.         Pengertian secara praktis : Kita mengenal adanya beberapa jenis norma dalam masyarakat antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu merupakan suatu garis untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan yang wajar pada suatu pihak, sedang pada pihak lain adalah suatu perbuatan tercela. Perbuatan yang wajar pada sisi garis disebut dengan kebaikan dan kebalikannya yang di seberang garis disebut dengan kejahatan.
b.         Pengertian secara religius : mengidentikkan arti kejahatan dengan dosa. Setiap dosa diancam dengan hukman api neraka terhadap jiwa yang berdosa
c.         Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda.
Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran termasuk dalam wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang terlarang.
Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai perbuatan yang terlarang.
Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten (delik hukum), yaitu peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang.
Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu (misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan.
  
C.        Recidive Pelanggaran
  Terdapat 14 jenis pelanggaran di dalam Buku II KUHP yang apabila diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu : pasal 489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Adapun yang menjadi syarat-syarat recidive pelanggaran adalah sebagai berikut :
Pelanggaran yang diulangi harus sama atau sejenis dengan pelanggaran yang terdahulu.
Harus sudah ada putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap untuk pelanggaran terdahulu.
Tenggang waktu pengulangannya baru lewat 1 atau 2 tahun sejak adanya putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap.
Belum lewat 1 tahun untuk pelanggaran pasal 489, 492, 495, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
Belum lewat 2 tahun untuk pelanggaran pasal 501, 512, 516, 517, dan 530.
Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan \ hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
c. teori gabungan

a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3.  Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2.  Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis', sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.

b. Teori relatif atau teori tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.

c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.

  BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat.
 

Daftar Pustaka
Muhammad, Gerry R, KUHP & KUHAP, Permata press, 2007.
Prof, Dr, Prodjodikoro Wirjono SH, Asas-asas HUKUM PIDANA Di Indonesia, retika aditama, 2003
Windari. Rusmilawati SH MH, Buku Ajar Hukum Pidana, Bangkalan, 2009.
www.google.com artikel pengulangan tindak pidana.
www.google.com Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969.
www.google.com Recedive.