Senin, 09 September 2013

AL KINDI

AL KINDI
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi tugas matakuliah
Filsafat Islam

Description: Description: Description: Description: Description: D:\logo iain.jpg

Dosen Pengampu:
Drs. A. Hamid, M.Ag.
Oleh:
1.      Alfi Choiron Azizi                                 (D01209099)
2.      Aqil Azka                                               (D01212005)
3.      Bagus Waskito Utomo                           (D01212006)



FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
2013

Kata Pengatar
Alhamdulilallah, segala puji bagi Allah SWT yang mana telah memberikan kita semua nikmat dan karuniaNya sehingga kita sampai detik ini masih dapat menikmati manisnya agama Islam manisnya bercinta denga sang Kholik.
Tidak lupa mari kita ucapkan shalawat dan salam ke pada junjungan baginda besar kita yakni Nabi Muhammad SAW yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya untuk tegaknya kalimah Laaillahaillallah dimuka bumi ini.
Dan yang terakir, kami sampaikan banyak – banyak terima kasih atas semua pihak yang turut serta dalam pembantuan pembuatan Makalah kami yang bertemakan “Al Kindi”. Tapi kami menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan makalah ini, oleh karenanya kritik dan saranyang membangun sangat kami harapkan dari pembaca yang budiman.
Semoga makalah yang sederhana ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan khususnya kepada kami sendiri.






                                                                                                               Penulis


                                                                                                 Surabaya, 02 Mei 2013


 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Adanya jurang pemisah yang dalam antara islam dengan filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan, kemudian adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh kalangan agama terhadap setiap pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan kaidah agama yang ditetapkan sebelumnya, serta hasrat para filsuf sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang,  itulah hal-hal yang mendorong filsuf-filsuf untuk mempertemukan agama dengan filsafat.
Sebagaimana Al-Kindi, ia mempertemukan agama dengan filsafat atas dasar pertimbangan bahwa keduanya sama-sama merupakan ilmu tentang kebenarann, sehingga diantara keduanya tidak ada perbedaan. Pengaruh golongan Mu’tazilah Nampak jelas pada jalan pemikirannya, ketika ia menetapkan kesanggupan akal manusia untuk mengetahui rahasia-rahasia apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ilmu filsafat pertama yang meliputi ketuhanan, keesaan, keutamaan, dan ilmu-ilmu lain yang mengajarkan bagaimana cara memperoleh hal-hal yang berguna dan menjauhkan hal-hal yang merugikan, dibawa kuga oleh rasul Tuhan.
Menurut Al-Kindi, kita tidak boleh malu untuk mengakui kebenaran dan mengambilnya, dari manapun datangnya, meskipun dari bangsa-bangsa lain yang jauh letaknya dari kita. Tidak ada yang lebih utama bagi orang yang mencari kebenaran dari pada kebenaran itu sendiri. Orang yang mengingkari filsafat berarti mengingkari kebenaran, dan karenanya maka ia menjadi kafir. Bahkan lawan-lawan filsafat sangat memerlukan filsafat untuk memperkuat alasan-alasannya.
Terkadang terdapat perlawanan dalam lahiriyah antara hasil pemikiran filsafat dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Pemecahan Al-kindi terhadap masalah ini adalah bahwa kata-kata dalam bahasa Arab bisa mempunyai arti sebenarnya (hakiki) dan arti majazi (kiasan, bukan arti sebenarnya). Arti majaziini hanya dinyatakan dengan jalan takwil ( penafsiran), dengan syarat harus dilakukan oleh orang-orang ahli agama dan ahli pikir.
Kalau ada perbedaan antara afilsafat dengan agama, maka perbedaan itu hanya dalam cara, sumber, dan cirri-cirinya, sebab ilmu nabi-nabi (agama) diterima oleh mereka sesudah jiwanya dibersihkan oleh Tuhan dan disiapkan untuk menerima pengetahuan (ilmu) dengan cara luar biasa diluar hukum alam.
Sesuai dengan pendirian Al-Kindi, bahwa filsafat harus memilih, maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikan sebaik-baiknya.[1]

B.     Rumusan Masalah.

1.      Siapakah Al Kindi?
2.      Apa saja pemikiran – pemikiran yang dikeluarkan Al Kindi?
3.      Apa dasar pemikiran Al Kindi?
4.      Bagaimana cara berfikirnya Al Kindi?

C.    Tujuan masalah

1.      Mengenal siapakah Al Kindi itu.
2.      Mengetahui apa saja pemikiran – pemikiran yang dikeluarkan Al Kindi.
3.      Memahami dasar pemikiran Al Kindi.
4.      Mengetahui cara berfikir Al Kindi.














BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah singkat Al kindi
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ash-Shabbah bin Imran bin Isma’il bin Al Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M). Ayahnya adalah seorang gubernur di kuffah pada masa pemerintahan Al-mahdi dan Harun Ar-Rasyid dari bani Abbas. Ayahnya kemudian meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir
Al-kindi pada masa kecilnya menempuh pendidikanyadi kota Bashrah. Dia menguasai beberapa ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ilmu kedokteran, filsafat, mantiq, geometri, astronomi dan lain-lain.[2]
 Yang dapat dipastikan tentang hal ini adalah bahwa ia hidup pada masa kekhalifahan al-Amin (809-813), al-Ma’mun (813-833), al-Mu’tasim (833-842), al-Wathiq (842-847), dan al-Mutawakkil (847-861).
Al-Kindi hidup pada masa penerjemahan besar-besaan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan memang, sejak didirikannya Bayt al-Hikmah oleh al-Ma’mun, al-Kindi sendiri turut aktif dalam kegiatan penerjemahan ini. Di samping menerjemah, al-Kindi juga memperbaiki terjemahan-terjemahan sebelumnya. Karena keahlian dan keluasan pandangannya, ia diangkat sebagai ahli di istana dan menjadi guru putra Khalifah al-Mu’tasim, Ahmad.
Ia adalah filosof berbangsa Arab dan dipandang sebagai filosof Muslim pertama. Memang, secara etnis, al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal dari suku Kindah, salah satu suku besar daerah Jazirah Arab Selatan. Salah satu kelebihan al-Kindi adalah menghadirkan filsafat Yunani kepada kaum Muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.
Al-Kindi telah menulis hampir seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, di antara sekian banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ini disebabkan karena matematika, bagi al-Kindi, adalah mukaddimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat. Mukaddimah ini begitu penting sehingga tidak mungkin bagi seseorang untuk mencapai keahlian dalam filsafat tanpa terlebih dulu menguasai matematika. Matematika di sini meliputi ilmu tentang bilangan, harmoni, geometri dan astronomi.
Yang paling utama dari seluruh cakupan matematika di sini adalah ilmu bilangan atau aritmatika karena jika bilangan tidak ada, maka tidak akan ada sesuatu apapun. Di sini kita bisa melihat samar-samar pengaruh filsafat Pitagoras.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi tiga: daya bernafsu (appetitive), daya pemarah (irascible), dan daya berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir sebagai sais kereta dan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang dengan baik, maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula. Orang yang hidupnya dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu birahi dan amarah diibaratkan al-Kindi seperti anjing dan babi, sedang bagi mereka yang menjadikan akal budi sebagai tuannya, mereka diibaratkan sebagai raja.
Menurut al-Kindi, fungsi filsafat sesungguhnya bukan untuk menggugat kebenaran wahyu atau untuk menuntut keunggulan yang lancang atau menuntut persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan mau merendahkan dirinya sebagai penunjang bagi wahyu.
Ia mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan manusia. Karena itu, al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki keterbatasan dan bahwa ia tidak dapat mengatasi problem semisal mukjizat, surga, neraka, dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, al-Kindi mempertahankan penciptaan dunia ex nihilio, kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, dan kelahiran dan kehancuran dunia oleh Tuhan.
B.     Pandangan Al Kindi
            Al-Kindi berusaha untuk memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang benar karena pada hakikatnya agama ilmu tentang kabenaran dan filsafat juga disebut tentang ilmu kebenara. Oleh karena itu maka tidak ada perbedaan antara keduanya yaitu sama-sama mengajarkan tentang kebenaran. Dan juga Alquran yang membawa argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan teologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan umat islam diwajibkan mempelajari teologi. Teologi adalah cabang termulia dari filsafat dan filsafat membahas tentang kebenaran atau hakikat dan hakikat ynag pertama yaitu Tuhan.
Ia mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang hakikat, kesanggupan manusia ilmu ketuhanan, ilmu keesaan, ilmu keutamaan, dan semua ilmu yang berguna dan bagaimana cara untuk memperolehnya serta menjauhi segala perkara yang merugikan atau tidak baik.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu yang mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal: Yang Benar Perama, bagi Al-Kindi ialah Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang tersebut menurut Al-Kindi telah mengingkari kebenaran, dan oleh karena itu ia dapat dikelompokkan menjadi orang yang “kafir”. Golongan mu’tazilah nampak jelas dalam pemikiran-pemikiranya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya semua orang akan mulia karena kebenaran.
Sesuai dengan pendiriannya, bahwa filsafat harus dimiliki maka ia sendiri berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencarinya dengan jalan mengikuti pendapat orang-orang yang sebelumnya dan menguraikannya sebaik-baiknya.
C.    Hasil pemikiran Al Kindi
1.      FILSAFAT KETUHANAN (METAFISIKA)
Selain seorang filosof, Al-kindi adalah seorang ahli ilmu pengetahuan. Ia membagi ilmu pengetahuan menjadi dua, yaitu :
1)  Pengetahuan Ilahi (Divine Science) sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an yaitu Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan ini adalah keyakinan.
2)  Pengetahuan Manusiawi (Human Science), atau falsafat. Dasarnya adalah pemikiran (ratio-reason).
Filsafat baginya ialah pengetahuan tentang yang benar (knowledfe of truth). Di sinilah terlihat persamaan filsafat dengan agama. Tujuan agama ialah menerangkan apa yang benar dan apa yang baik, begitu pula tujuan tujuan filsafat. Disamping wahyu, agama menggunakan akal, dan filsafat juga menggunakan akal. Yang benar pertama (the fisrt truth) bagi Al-kindi ialah Tuhan. Dengan demikian, pada dasarnya filsafat membahas soal Tuhan dan agama. Dan filsafat yang paling tinggi ialah filsafat tentang Tuhan. Sebagaimana yang dikatakan Al-Kindi:
Filsafat yang tekemuka dan tertinggi derajatnya adalah filsafat utama, yaitu tentang yang Benar Pertama, yang menjadi sebab bagi segala yang benar
Tuhan dalam filsafat Al-kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Tidak aniahkarena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun materi dan bentuk. Juga Tuhan tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak merupakan genusatau species. Tuhan hanya satu, dan tidak serupa dengan Tuhan. Tuhan itu unik. Ia adalah Yang Benar Pertama dan Yang Benar Tunggal. Ia semata-mata satu.. hanya ialah yang satu, selain Tuhan semuanya mengandung arti banyak.
Sesuai dengan paham yang ada dalam islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah Pencipta dan bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau, tetapi mempunyai permulaan. Karena itu dalam hal ini ia lebih dekat pada filsafat Platonius yang mengatakan bahwa Yang Maha Satu adalah sumber dari ala mini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi dari Yang Maha Satu. Namun paham emanasi ini kurang kentara dalam filsafat Al-Kindi, sehingga kemudian Al-Farabi-lah yang menuliskan tentang paham tersebut dengan jelas.[3]
Untuk membuktikan adanya Allah, al-Kindi memajukan tiga argumen. Pertama, baharunya alam. Kedua, keanekaragaman dalam wujud. Ketiga, kerapian alam.
Tentang dalil pertama, yakni baharunya alam, al-Kindi berangkat dari pertanyaan, “apakah mungkin sesuatu menjadi sebab bagi wujud dirinya?”. Menurut al-Kindi, tidak mungkin, karena alam ini mempunyai permulaan waktu, dan yang mempunyai permulaan pasti berakhir. Oleh karena itu, setiap benda ada yang menyebabkan wujudnya dan mustahil adanya benda tersebut menjadi penyebab wujudnya. Hal ini berarti alam semesta sifatnya baru, dan diciptakan oleh yang menciptakannya, yakni Allah.
Tentang dalil kedua, yakni keanekaragaman dalam wujud, al-Kindi menyatakan bahwa terjadinya keanekaragaman dan keseragaman ini bukan secara kebetulan, tetapi ada yang menyebabkan atau merancangnya. Sebagai penyebabnya, mustahil jika alam itu sendiri yang menyebabkannya. Jika alam yang menjadi sebab, maka akan terjadilah tasalsul (rangkaian) yang tidak akan ada habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi pada alam ini. Oleh karena itu, penyebabnya harus yang berada di luar alam itu sendiri, yakni zat yang Maha dahulu. Dialah Allah Yang Maha Esa.
Tentang dalil ketiga, yakni kerapian alam, al-Kindi menegaskan bahwa alam empiris ini tidak mungkin teratur dan terkendali begitu saja tanpa ada yang mengatur dan mengendalikannya. Pengatur dan pengendalinya tentu yang berada di luar alam. Ia tidak sama dengan alam. Zat itu tidak terlihat, tetapi dapat diketahui dengan melihat tanda-tanda atau fenomena-fenomena yang ada di alam ini. Zat itu tiada lain adalah Allah SWT.
2.      ALAM
Alam , menurut Al-Kindi adalah bahwa alam terjadi dengan cara Emanasi atau pancaran dari Yang Maha Satu. Munculnya alam adalah karena pancaran dari Wujud Allah. Alam ini dijadikan Allah dari tiada (creation ex nihilio ). Pendapt al-Kindi  sejalan dengan Aritoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud yang aktual apabila tehimpun empat 'illat, yakni materi benda (al-ushuriyyat), bentuk benda (al-Shuriyyat), pembuat benda (al-fa'ilat), manfaat benda (at-tamamiyyat). Selanjutnya Al-Kindi membagi 'illat al-Fa'ilat menjadi qaribat (dekat) dan ba'idat(jauh). Ilat yang dekat (qaribat) ada yang bertalian dengan alam dan ada pula yang bertaian dengan Allah. Sementara illat yang jauh (ba'idat)hanya bertalian dengan Allah. Kalau dicontohkan dengan sebatang kapur tulis, pabrik yang memproduksi kapur disebut illat dekat dan manusia yang menciptakan pabrik disebut illat yang jauh berasal dari alam (ba'idat thabi'i).Namun, pada hakikatnya yang menciptakan pencipta pabrik (manusia) tersebut adalah illat ba'idat Ilahy (sebab dari Tuhan), yakni Allah. Dari sini dapat ditemukan bahwa alam menurut Al-Kindi disebabkan oleh sebab yang jauh, yakni Allah. Ia yang menciptakan alam dari tiada (cretio ex nihilio).[4]
Tentang baharunya alam, Al-Kindi mengemikakan tiga argument, yakni gerak, zaman, dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Masa gerak menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adannya benda. Mustahil ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan akan berakhir.
      Pada sisi lain, benda mempunyai tiga dimensi panjang, lebar, dan tinggi. Ketiga dimensi ini membuktikan bahwa benda tersusun dan setiap yang tersusun tidak dapat dikatakan Qadim.
      Jika diandaikan, kata al-Kindi, zaman Qadim, bila ditelusuri kebelakang tentu saja tidak akan sampai pada akhirnya, karena tidak mempunyai awal. Begitu pula zaman yang tidak mempunyai awal pada masa lampau tentu ia akan sampai pada masa kita sekarang. Oleh sebab itu, zaman yang sampai pada masa sekarang bukan Qadim tetapi baru. [5]
      Dengan dibuktikannya oleh Al-Kindi bahwa materi, gerak dan waktu dari alam semesta ini terbatas, berarti alam semesta ini baru (huduts), sedangkan apa pun yang baru pastilah dicipta (muhdats). Oleh karena itu, dia mengatakan alam itu baru munculnya karena adanya yang memunculkan. Menurut para filosof Muslim, adanya perubahan dari tiada menjadi ada, tidak bisa terjadi kecuali ada factor tertentu (murajjih)_atau reason d'entre dalam istilah Liebniz (w. 1716M)_yang bertanggung jawab atas terjadinya perubahan tersebut, yang tanpanya tak bisa dibayangkan perubahan itu terjadi. Oleh karena itu, sesuatu yang baru, seperti alam ini, karena tidak bias terbayangkan bisa muncul sendiri, hal ini memastikan adanya sebab yang memunculkannya. Itulah tuhan atau dalam bahasa filosofis disebut sebab pertama.
3.      MANUSIA
      Manusia menurut Al-Farabi bahwa manusia itu mempunyai  jiwa yang memiliki:
·         Gerak atau motion, sehingga dengannya manusia itu adalah membutuhkan makan, membutuhkan pemeliharaan, membutuhkan berkembang,
·         Mengetahui, yakni manusia dapat merasa, dan berimaginasi.
·         Berfikir, bahwa manusia memiliki akal praktis dan akal teoritis.
4.      JIWA DAN AKAL
Adapun tentang jiwa, menurut Al-Kindi, tidak tersusun, tetapi mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Illahiah, terpisah dan berbeda dari tubuh.[6]
Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Argumen  yang dikemukakan Al-Kindi tentang kelainan roh dari badan ialah keadaan badan mempunyai hawa nafsu (carnal desire) dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion. Sudah jelas hawa yang melarang tidak sama, tetapi berlainan dari yang dilarang.[7]
Roh bersifat kekal  dan tidak hancur dengan hancurnya badan. Dia tidak hancur, karena substansinya berasal dari substansi Tuhan. Ia adalah cahaya yang dipancarkan Tuhan selama dalam badan, roh tidak memperoleh kesenangan yang sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan badan, roh memperoleh kesenangan sebenarnya dalam bentuk pengetahuan yang sempurna. Setelah bercerai dengan badan, roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal diatas bintang-bintang, di dalam lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan. Disinilah terletak kesenangan abadi dari roh.[8]
Hanya roh yang sudah suci di dunia ini yang dapat pergi ke alam kebenaran itu. Roh yang masih kotor dan belum bersih, pergi dahulu ke bulan. Setelah berhasil membersihkan diri dari sana, baru ia pindah ke merkuri, dan demikianlah naik setingkat demi setingkat hingga ia akhirnya setelah benar-benar  bersih, sampai ke alam akal, dalam lingkungan cahaya Tuhan dan melihat Tuhan.[9]  Jiwa mempunyai tiga daya:
·         daya bernafsu (appetitive)
·         daya pemarah (irascible)
·         dan daya berpikir (cognitive faculty)
daya berpikir itu disebut akal. Menurut Al-Kindi ada tiga macam akal:
·         akal yang  bersifat  potensial
·         akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual
·         dan akal yang telah mencapai tingkat  kedua dari aktualitas, yang dalam bahasa arab disebut:
فىِ حالةٍ مِنَ الفعْلِ ظَاهِرةً حِيْنَ يَبَاشِرُ  الفِعْلَ, الفِعْلُ الَّذى نُسمِّيْهِ الثَّانِى.
“Dalam keadaan aktual nyata, ketika Ia aktual, akal yang kami sebut “yang kedua”[10]
Akal yang bersifat potensial tak bisa mempunyai sifat aktual jika tidak ada kekuatan yang menggerakkannya dari luar. Dan oleh Karena itu bagi Al-Kindi ada lagi satu macam akal yang mempunyai wujud diluar roh manusia, dan bernama: العقل الذي بالعقل أبد (akal yang selamanya dalam aktualitas). Akal ini, karena selamanya dalam aktualitas, ialah yang membuat akal bersifat potensial dalam roh manusia menjadi aktual. Sifat-sifat akal ini:
·         ia merupakan akal pertama
·         ia selamanya dalam aktualitas
·         ia membuat akal potensial menjadi aktual berpikir
·         ia tidak sama dengan akal potensial tetapi lain dari padanya.[11]
Bagi Al-Kindi manusia disebut menjadi عاقل(‘akil) jika ia telah mengetahui universal, yaitu jika ia telah memperoleh akal yang diluar itu. Akal pertama ini bagi Al-Kindi, mengandung arti banyak, karena dia adalah universal. Dalam limpahan dari Yang  Mahasatu, akal inilah yang pertama-tama merupakan yang banyak (اوّل متكثّر).[12]






BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
            Al-Kindi adalah filsuf islam yang mula-mula secara sadar berupa mempertemukan ajaran-ajaran islam dengan filsuf Yunani. Sebagai seorang filsuf Al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuinya pula oleh keterbatasan akal untuk pengetahuan tentang Tuhan. Oleh krena itu, menurut Al-Kindi diperlukan adanya nabi yang mengajarkan hal-hal yang dirasakan bertentangan dengan ajaran agama islam yang di yakininya.
Karangan-karangan Al-Kindi umumnya berupa makalah-makalah pendek dan dinilai kurang mendalam dibandingkan dengan tulisan-tulisan Al-Farabi. Namun sebagai filsuf perintis yang menempuh jalan bukan seperti pemikir sebelumnya, maka nama Al-Kindi memperoleh cetak biru dan mendapat tempat yang istimewa dikalangan filosuf sezamannya dan sesudahnya. Tentu saja ahli-ahli pikir kontemporer yang cinta kebenaran dan kebijakan akan senantiasa merujuk kepadanya.

















DAFTAR ISI
Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung PT Remaja Rosdakary 1987)
H.A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997)
Nasution Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam(Jakarta : Bulan Bintang1973)
Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung PT Remaja Rosdakary 1987)


[1] Poerwantana dkk, Seluk-Beluk Filsafat Islam, (Bandung PT Remaja Rosdakary 1987) -

[2] H.A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1997).99-100
[3] Nasution Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, 1973, (Jakarta : Bulan Bintang), 39
[4]  H. Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1991), h 21-22
[5]  Ibid.,
[6] Dr. Hasyimsyah Nasution, M.A, Filsafat Islam, hal. 20
[7] Harun Nasution, Falsafat dan  mistisisme  dalam islam, hal. 10
[8] Ibid., 11
[9] Ibid., 12
[10] ibid
[11] Ibid., hal.13
[12] Ibid., hal. 14

Tidak ada komentar:

Posting Komentar