Senin, 09 September 2013

Makalah mAQOMAT WAL AHWAL

MAQOMAT WAL AHWAL
Makalah
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhlak Tasawuf
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: H:\Faisal\IAIN CL_1.jpg

Dosen Pengampuh:
Dr. H. Ali mas’ud, M.Ag.

Oleh:
Bagus Waskito Utomo                        (D01212006)
Faisal Efendy                                     (D01212012)
Ilmiyah Ningsih                                 (D01212019)
Khusnul Subekti Rahmadiansyah     (D01212023)
Lailatun Nuroniyah                           (D01212026)
Saiful Anam                                       (D01212002)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL  SURABAYA FAKULTAS TARBIYAH
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SURABAYA
2013


KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
            Alhamdulillah Allamal Qur’an Kholaqol Insan Allamahul Bayan, washshalatu wassalamu ’ala Ruslil Anam, Sayyidina Muhammadin wa ’ala alihi wa shohbihi ila yaumil manam.
            Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah menciptakan manusia dan alam seisinya untuk makhluknya serta mengajari manusia tentang al-qur’an dan kandungannya, yang dengan akal pikiran sebagai potensi dasar bagi manusia untuk menimbang sesuatu itu baik atau buruk, menciptakan hati nurani sebagai pengontrol dalam tindak tanduk, yang telah menciptakan fisik dalam sebagus bagusnya rupa untuk mengekspresikan amal ibadah kita kepada-Nya. Segala puji bagi Allah sang Maha Kuasa pemberi hidayah, yang semua jiwa dalam genggaman-Nya, kasih kaming-Mu mulia tak terperi. Rahman dan Rahim-Nya telah menyertai kami sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini.
            Sholawat bermutiarakan salam senantiasa kita haturkan kepada revolusionar muslim sejati baginda Muhammad SAW, serta para sahabatnya yang telah membebaskan umat manusia dari lembah kemusyrikan dan kejahiliyahan menuju alam yang bersaratkan nilai-nilai tauhid dan bertaburan cahaya ilmu pengetahuan dan kebenaran. Dalam makalah ini yang berjudul Maqomat wal Ahwal, penulis berupaya semaksimal mungkin menyajikan makalah dalam bentuk yang mudah dibaca. Namun, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih banyak kekurangan.
            Tiada yang dapat kami ucapkan sebagai balas budi kami selain untaian ucapan terima kasih dan doa, agar semua amal kebaikan selama ini penuh dengan iringan rahmat dan ridho Allah SWT. Sehingga dicatat sebagai amalan makbulan’indallah. Amin. Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan semuanya, khususnya bagi penulis sendiri.

Surabaya, 27 April 2013

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................    i
KATA PENGANTAR.......................................................................................        ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................        iii

BAB I PEMBAHASAN.............................................................................................
A. Pengertian Al Maqomat.............................................................................       1      
B. Tingkatan Al Maqomat............................................................................... ...... 1      
C. Pengertian Al ahwal........................................................................................... 5
D. tingkatan Al ahwal............................................................................................ 5
BAB II PENUTUP..................................................................................................... 9
A.    Kesimpulan....................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 10
BAB 1
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Al Maqomat.
      Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah. Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti kedudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui Riyadhah, Ibadah, maupun mujahadah. 

B.     Tingkatan Al Maqomat
  1. Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Menurut pandangan para sufi zuhud yaitu suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan dunia dan mendekatkan diri kepada kehidupan akhirat.[1]Zuhud merupakan tapak kaki awal bagi mereka yang hendak menuju kepada Allah Azza Wa Jalla, yang mencurahkan segala-galanya hanya untuk mencari ridho Allah dan bergantung pada Allah. Sebab cinta dunia merupakan pangkal segala kekeliruan,sedangkan menjauhkan diri dari dunia merupakan pangkal segala kebaikan dan ketaatan.[2]
Zuhud dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
1.      Dengan cara menjauhkan dunia agar terhindar dari hukuman akhirat
2.      Menjauhi dunia dengan menimbang imbalan di akhirat
3.      Mengucilkan dunia bukan karena takut atau berharap, tapi karena dia bener-benar cinta kepada Allah semata.[3]
Dan pada tingkatan ketiga inilah yang mampu membukakan tabir antara seorang hamba dengan Allah. Dikatakan,bahwa seseorang yang disebut dengan nama zuhud dalam masalah duniawi maka sesungguhnya ia telah disebut dengan seribu nama yang baik, dan barang siapa yang disebut dengan cinta dunia (tamak) maka ia disebut dangan seribu nama yang buruk.[4]Dan menurut pandangan imam al-Ghazali, zuhud terbagi menjadi beberapa tingkatan:
a.       Zuhud yang dikaitkan dengan orang yang berzuhud:
1.      As-shufla: meninggalkan kemewahan dunia tapi sebenarnya hatinya masih cenderung dan mengingatnya,pada tingkatan ini derajat zuhud paling rendah.
2.      Meninggalkan kemewahan dunia secara sukarela, karena ia melihat bahwa dunia adalah suatu kehinaan.
3.      Al-‘Ulya : ia melihat bahwa dunia ini semata-mata tidak mempunyai nilai apa-apa dan tidak sepadan dengan apapun, zuhud di tingkatan ini mempunyai derajat yang paling tinggi.
b.      Zuhud yang dikaitkan dengan sesuatu yang dicintainya :
1.      Zuhud karena takut, dimana seseorang hamba melakukan zuhud dikarenakan takut akan siksa neraka,azab kubur, dan lain sebagainya.
2.      Zuhud karena mengharap pahala nikmat allah dan kelezatan yang telah di janjikan Allah di dalam surge.
3.      Dan derajat yang tertinggi yaitu zuhudnya para arif yang tidak mengharap apa-apa namun hanya ingin bertemu dengan Allah semata.
c.       Zuhud yang dikaitkan dengan suatu yang ditinggalkan :
1.      Meninggalkan segala sesuatu selain Allah
2.      Meninggalkan segala sesuatu karena nafsu, seperti marah, sombong, riya, ujub, pangkat, harta, dan lain sebagainya.[5]
Kehidupan yang sederhana yang di contohkan Rosulullah, Khulafaur Rosidin maupun para sahabat lainnya terutama Ashabus Suffah dengan kondisi mereka serba kekurangan tetap mampu menjaga kehormatan dengan tidak meminta, sehingga Allah mengutuk hati kaum muslimin bagi siapa saja yang memberikan nafkah kepada mereka.[6]  Dan inilah yang dipilih oleh Rasulullah untuk dirinya sendiri sesuai dangan pilihan Allah untuknya. Sementara itu sikap zuhud adalah berzuhud dari masalah yang halal, sedangkan dalam masalah yang jelas haram atau syubhat maka meninggalkannya adalah wajib.
Sikap zuhud sebagaimana telah disebutkan diatas, menurut Harun Nasution, adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi. Sikap ini dalam sejarah pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaum yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Muawiyah misalnya disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan. Anaknya bernama Yazid dikenal sebagai pemabuk. Demikian pula dengan khalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin misalnya, anak Harun al-Rasyid juga dikenal dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, hingga ibu kandungnya sendiri, Zubaidah, menyebelah kepihak Al-Ma’mun, ketika antara kedua saudara ini timbul pertikaian tentang siapa yang menjadi khalifah.[7]
Berkenaan dengan keadaan demikian itu, maka timbullah sikap zahid. Para zahid Kufahlah yang pertama kali memakai pakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakai golongan Mu’awiyah. Mereka itu seperti Sufyan al-Tsauri (w. 135 H), Abu Hasyim (w. 150 H), dan Jabir Ibn Hasyim (w. 190 H). Di Basrah muncul Hasan Basri (w. 110 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah. Di Persia timbullah Ibrahim Ibn Adham (w. 162 H) dan muridnya Syafiq al-Balkhi (w. 194 H), dan di Madinah muncul Ja’far al-Sadig (w. 148).[8]

b.  Sabar
     Secara harfiah sabar berarti tabah hati, sedangkan secara istilah sabar yaitu suatu keadaan jiwa yang kokoh,stabil, konsekuen pada pendirian. Sabar erat kaitannya dengan pengendalian diri, pengendalian sikap, dan emosi. Oleh sebab itu sikap sabar tidak bisa tumbuh begitu saja, akan tetapi harus melalui latihan yang sungguh-sungguh. Menurut pendapat Ibnu Taimiyah, sabar dalam menjauhi maksiat lebih tinggi tingkatannya dari pada sabar dalam menghadapi musibah.
      Kedudukan spiritual sabar adalah kedudukan spiritual mulia, karna Allah telah memuji orang-orang yang bersabar dan menyebutkan merekaa dalam firman-Nya :
………………………………………………………………………………………………..
  “ Hanya orang-orang yang bersabar akan di beri pahala kepada mereka yang tiada batas”
(QS. Az-zumar : 10)
      sabar merupakan kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu ketika bahagia maupun dalam keadaan susah.[9]Makna sabar menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang menimpanya. Adapun orang yang sangat bersabar adalah mereka yang kesabarannya demi Allah, karena Allah, dan dengan Allah. Orang sabar yang seperti demikian itu, jika seluruh cobaan menimpanya maka dari segi kewajiban dan hakikat tidak akan melemahkan,namun ia tetap kuat menghadapinya, sekalipun dalam segi bentuk dan rupa akan berubah.

c.Tawakal
     Tawakal dapat dikatakan sebagai hasil dari sikab sabar. Sehingga bila sabar sudah mampu ditegakkan, otomatis dia juga bisa dikatakan seorang yang tawakal. 
Menurut ibnul Qayyim, ada kesalahan persepsi tentang tawakal. Dimana dia tidak berbuat sesuatu atau kurang tekun dalam berjuang untuk sesuatu, kemudian menyerahkan pada Allah. Ini bukan tawakal, melainkan menelantarkan karunia Allah.
Orang yang tawakal bisa ditandai dengan selalu menyatunya perasaan tenang dan tentram serta penuh kerelaan atas segala kerelaan atas segala yang diterimanya. Dia juga selalu merasa optimis dalam bertindak dan senantiasa memiliki harapan atas segala yang dicita – citakan.[10]
d.      Ridhah
     Ridha adalah anugera dari Allah SWT karena orang bisa bersikab tawakal. Dzunnun al Mishri berpendapat bahwa ridha adalah menerima tawakal dengan sepenuh hati. Tanda – tanda orang ridha adalah dia menerima hasil dari segala sesuatu yang dia upayakan dengan ikhlas dan sabar sebelum dating ketentuan, dan tidak merasa cemas serta resah setelah datangnya ketentuan. Jadi, ridha adalah keadaan mental seseorang dan kejiwaan yang senantiasa berlapang dada dalam menerima segala karunia yang diterima, maupun bala’ yang menimpa. Sikab mental ini adalah merupakan maqom tertinggi yang dicapai oleh orang yang melakukan latihan spiritual.[11]

C.    Pengertian Al  Ahwal
      Pengertian Ahwal secara Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan atau sesuatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu Nash As-sarraj, hal adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.  Menurut harun nasution, dalam Bukunya abuddin Nata Akhlak Tasawuf. Hal atau  khwal merupakan keadaan mental perasaan senang, perasaan takut, perasaan sedih, dan sebagainya.  Sedangkan Menurut imam al Ghozali dalam Bukunya Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel urabaya. menerangkan bahwa, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah  dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.
D.    Tingkatan Al Ahwal
a.      Al- Muraqabah
            Muraqabah adalah kesadaran diri bahwa kita selalu berhadapan dengan Allah dalam keadaan apapun dan Dialah yang selalu mengawasi apapun yang kita lakukan. Adapun muraqabah bagi seorang hamba adalah pengetahuan dan keyakinannya, bahwa Allah selalu melihat apa yang ada dalam hati nuraninya dan Maha Mengetahui. Maka, dalam kondisi demikikian ia terus meneliti dan mengoreksi bersitan-bersitan hati atau pikiran-pikiran tercela yang hanya akan menyibukkan hati sehingga lupa untuk mengingat tuhannya.
Dalam firman-Nya:
…………………………………………………………………………………….
 Apakah mereka tidak mengetahui, bahwa Allah mengetahui rahasia dan bisikan hati mereka, dan bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala yang ghaib ”(QS.At-taubah : 78)
 Muraqabah memiliki dua tingkatan, yaitu:
1.      Muraqabah para shiddiqin dan muraqqabin
Dilakukan untuk mengagungkan Allah dengan cara melatih hati senantiasa sadar bahwa Allah mengetahui segala gerak-gerik manusia.
2.      Muraqqabahnya orang-orang wara’
Mereka sadar bahwa Allah mengawasi kondisi secara lahir dan bathin. Maksudnya yaitu Allah selalu mengawasi kita, dimanapun dan kapanpun kita berada, apapun yang ada dalam hati kita, Allah selalu mengawasinya baik yang dilakukan oleh anggota tubuh maupun hati.
            Muraqabah memiliki dua cara yaitu yang pertama dengan cara mengamati seluruh gerak dan diamnya badan serta gerak hati, dan yang kedua yaitu dengan caramengamati cara dalam melaksanakan amal untuk memenuhi hak Allah dan selalu menyempurnakan niatnya selama menyempurnakan amalnya.[12]Adapun tindakan muraqabah adalah suatu tindakan  yang lebih baik dari pada amal dan ibadah yang selalu dilakukan setiap hari.

  1. Al - khauf
Khauf adalah suatu  sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Orang yang selalu merasa takut maka timbullah sikap untuk berusaha agar prilakunya tidak menyimpang dari apa yang dikendaki Allah dan selalu berusaha untuk berbuat terpuji.

Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a.       Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.      Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.       Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.[13]
Sedangkan penyebab dari ketakutan dibagi menjadi dua:
a.       sesuatu yang ditakuti akibat yang di timbulkan
seperti contoh : takut mati sebelum taubat,karena takut akan hak-hak Allah yang belum terpenuhi
b.      sesuatu yang ditakuti karena dzatnya
seperti contoh : takut mati karena beratnya menghadapi kematian.



c.       Mahabbah
        Kata mahabbah berasal dari kata ahabbah, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau cinta yang mendalam. Al- Mahabbah dapat pula berarti al-wadud, yakni yang sangat kasih atau penyayang. Selain itu al- mahabbah dapat pula berarti kecenderungan kepada sesuatu yang sedang berjalan, dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan yang bersifat material maupun spiritual, seperti cintanya seseorang yang kasmaran pada sesuatu yang dicintainya, orang tua pada anaknya, suatu bangsa terhadap tanah airnya, dll.
Mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba yang mencintai-Nya selanjutnya dapat mengambil bentuk iradah dan rahmah Allah yang deberikan kepada hamba-Nya dalam bentuk pahala dan nikmat yang melimpah. Mahabbah berbeda dengan al- raghbah, karena mahabbah adalah cinta yang tanpa dibarengi dengan harapan pada hal-hal yang bersifat duniawi, sedangkan al- raghbah adalah cinta yang disertai perasaan rakus.
Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah adalah cinta dan yang dimaksud ialah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain:
1. Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan. 

Dilihat dari segi tingkatannya, mahabbah sebagai dikemukakan al-Sarraj, sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabbah orang biasa, mahabbah orang shidiq dan mahabbah orang yang arif. Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan dzikir dan senantiasa memuji Tuhan. Selanjutnya mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya dan lain-lain. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya. Sedangkan cinta orang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta serupa ini timbul karena telah tahu betul pada Tuhan.
Ketiga tingkat mahabbah tersebut tampak menunjukkan suatu proses mencintai, yaitu mulai dari mengenal sifat-sifat Tuhan, dilanjutkan dengan leburnya diri (fana) pada sifat-sifat Tuhan itu, dan akhirnya menyatu kakal (baqa) dalam sifat Tuhan.
Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang menyintai Tuhan sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai (Tuhan) masuk ke dalam diri yang dicintai. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. 
Sementara itu ada pula pendapat yang mengatakan bahwa al-mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu berdampingan dengan makrifat, baik dalam kedudukannya maupun dalam pengertiannya. Kalau makrifat adalah merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta (roh). Seluruh jiwanya terisi oleh rasa kasih dan cinta kepada Allah. Oleh karena itu, menurut al-Ghazali, mahabbah itu manifestasi dari ma’rifah kepada Tuhan. Dengan demikian kedudukan mahabbah lebih tinggi dari ma’rifah



BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
      Pengertian dari Maqamat dan Ahwal ini pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan atau persetujuan para kaum sufi, semua itu tidak lain adalah hasil ijtihad dan juga bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam aturan Islam qath’iyyat. Karena hal itu, bukan hanya merupakan pengertian yang tidak dijumpai di kalangan di luar materi tasawuf, bahkan para sufi masing – masing berbeda-beda dalam perinciannya.















Daftar Pustaka
Abu Nasr as-Sarraj, Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawwuf (Surabaya: Risalah Gusti,2002)
Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, At-tasawwuf  Bayna
Abu Nasr as-Sarraj, Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawwuf (Surabaya: Risalah Gusti,2002),M. sholikhin dan rosihan anwar, kamus tasawwuf,
Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Khair, t.t.)
Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, At-tasawwuf  Bayna,
Nahrowi Tohir Moenir, menjelajahi eksistensi tasawuf, (Jakartaselatan: PT. as-Salam Sejahtera,2012)
Nata,Abudin.Akhlak Tasawuf , (Jakarta,RAJAGRAFINDO.1996)
Rosihan anwar dan Muhtar Sholikhin, Ilmu Tasawwuf
Romly Arief, Kuliah Akhlak Tasawuf. (Jombang, Unhasy Press, 200 8.)
Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf,(Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011)



[1]M. sholikhin dan rosihan anwar, kamus tasawwuf, 270
[2]Abu Nasr as-Sarraj, Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawwuf (Surabaya: Risalah Gusti,2002),hal : 95
[3] Rosihan anwar dan Muhtar Sholikhin, Ilmu Tasawwuf,72
[4]Abu Nasr as-Sarraj, Al-Luma’ Rujukan Lengkap Ilmu Tasawwuf (Surabaya: Risalah Gusti,2002),hal : 95
[5]Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, At-tasawwuf  Bayna,118-119.
[6] Romly Arief, Kuliah Akhlak Tasawuf. (Jombang, Unhasy Press, 2008.), 111
[7] Al-Qusyairi al-Naisabury, Al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilm al-Tasawwuf, (Mesir: Dar al-Khair, t.t.), h 64-65
[8]  Ibid ., 65-66
[9] Hal tersebut sejalan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Suhaib:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

[10]Nahrowi Tohir Moenir, menjelajahi eksistensi tasawuf, (Jakartaselatan: PT. as-Salam Sejahtera,2012),hal.100
[11]Ibid. hal. 100
[12]Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, At-tasawwuf  Bayna,139.

[13]Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Pres. 2011), 266-267
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar