Senin, 09 September 2013

Filsafat al-Kindi tentang Tuhan



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkatdan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.  Dan sholawat serata salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membimbing kejalan yang diridhi-Nya.
Yang kedua kalinya,  kami ucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada pihak – pihak yang telah membantu dan mensupot kami, sehingga makalah  inidapat selesai tepat waktu, khususnya kepada Bpk. Hamid dan juga teman – teman yang telah membantu kami didalam menyelesaikan makalah ini.  
Makaah ini kami  susun dengan  tujuan  agar  dapat digunakan untuk  mempermudah pembaca untuk memahami materi terutama dalam mata kuliah Filsafat Islam. Khususnya pembahasan tentang filsafat tetang Tuhan menurut filsafat muslim; Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghozali, Ibnu Rusyd.
Segala upaya telah dilakukan demi tersusunnya makalah ini. Namun, kami  menyadari jika makalah ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat dijadikan masukan untuk penyusunan makalah yang akan datang.



                                                                                                      Penyusun


Surabaya, 23 Mei 2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang...................................................................................... 1
B.       Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C.       Tujuan .................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A.    Filsafat Al-kindi tentang Tuhan ............................................................... 2
B.     Filsafat Al-Farabi tentang Tuhan ............................................................. 3
C.     Filsafat Ibnu Sina tentang Tuhan ............................................................. 8
D.    Filsafat Al-Ghozali tentang Tuhan ........................................................... 10
E.     Filsafat Ibnu Rusyd tentang Tuhan .......................................................... 11
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................ 13
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 14


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pada masa dinasti abasiyah banyak terjadi penerjemahan buku – buku filsafat yunani ke dalam bahasa arab sehingga banyak muncul fisuf – filsuf muslim pada saat itu, diantaranya adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghozali, Ibnu Rusyd dan lain – lain.
Mereka berbeda – beda  dalam berfilsafat tentang Tuhan, alam, manusia, jiwa dan ruh,   kelompok pertama yaitu Al-kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina bisa disebut dengan yunanisasi islam, dan Al-Ghozalibisa disebut dengan islamisasi islam, dan Ibnu Rusyd bisa disebut dengan islamisasi yunani. dalam makalah ini akan dibahas tetang pendapat – pendapat  filsuf muslim, khususnya yang berkaitan dengan Tuhan.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana fisafat tentang Tuhan menurut Al-Kindi  ?
2.      Bagaimana fisafat tentang Tuhan menurut Al-Farabi ?
3.      Bagaimana fisafat tentang Tuhan menurut Ibnu Sina ?
4.      Bagaimana fisafat tentang Tuhan menurut Al-Ghizali ?
5.      Bagaimana fisafat tentang Tuhan menurut Ibnu Rusyd ?

C.    Tujuan
1.      Pembaca  mengetahui pendapat filsafat Al-Kindi tentang Tuhan
2.      Pembaca  mengetahui pendapat filsafat  Al-Farabi tentang Tuhan
3.      Pembaca  mengetahui pendapat filsafat  Ibnu Sina tentang Tuhan
4.      Pembaca  mengetahui pendapat filsafat  Al-Ghozali tentang Tuhan
5.      Pembaca  mengetahui pendapat filsafat Ibnu Rusyd tentang Tuhan



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Filsafat al-Kindi tentang Tuhan
Setelah membuktikan bahwa alam semesta ini diciptakan pada suatu masa (muhdats), kemudian Al-Kindi hendak mendemonstrasikan bahwa alam ini mempunyai Dzat yang menciptakan (muhdits). Untuk membuktikan adanya Allah Sang Pencipta, Al-Kindi mengajukan beberapa argument.[1] Pertama, bukti adanya Allah adalah diciptakannya alam semesta pada suatu masa. Apapun yang diciptakan pada suatu masa, maka ia mempunyai pencipta. Setiap yang memiliki permulaan waktu maka ia akan berkesudahan. Argumen kedua adalah keaneragaman alam. Sebelum berargumen, al-Kindi menjelaskan makna dari istilah ‘satu’ (one/wahid). Kata ‘satu’ adalah istilah yang merujuk pada ‘satu’ (single) dari kumpulan beberapa objek dan merujuk pada ‘Esa’ (One), Sang Pencipta. Untuk makna pertama, ia tersusun. dari beberapa objek, dan dapat dibagi (divisible) kedalam beberapa bagian. Sedangkan untuk makna kedua (One-ness, the Creator), Ia adalah satu yang tidak dapat dibagi-bagi (indivisible). Selain ‘Yang Esa’ (One-ness) berarti berragam (multiple). Ketiadaan Yang Esa juga berdampak pada ketiadaan yang berragam. Yang Esa (One-ness) adalah penyebab adanya yang lain. Dialah Allah Sang Pencipta.
Argument ketiga adalah bahwa segala sesuatu mustahil dapat menjadi penyebab atas dirinya sendiri. Karena jika ia sendiri yang menyebabkan atas dirinya maka akan terjadi tasalsul (rangkaian) yang tidak akan habis-habisnya. Sementara itu, sesuatu yang tidak berakhir tidak mungkin terjadi. Karena itulah, penyebabnya harus dari luar sesuatu itu, yakni Dzat Yang Maha Baik dan Maha Mulia dan lebih dahulu adanya dari pada sesuatu itu. Ia adalah Allah swt, Dzat yang Maha Pencipta. Allah dalm filsafat Al-Kindi tidak mempunyai hakikat dalam arti aniah dan mahiah. Bagi Al-Kindi Allah adalah unik. Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengannya.[2]Bukan ‘aniah karena Tuhan tidak termasuk dalam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan ia adalah Pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi (al-hayula) dan bentuk (al-shurat). Tuhan juga tidak mempunyai hakikat dalam bentuk mahiah, karena Tuhan tidak termasuk genus atau species. Tuhan hanya satu, dan tidak ada yang serupa dengan Tuhan. Tuhan adalah unik. Ia adalah Yang Benar Pertama (al-Haqq al-Awwal) dan Yang Benar Tunggal (al-Haqq al-Wahid). Ia semata-mata satu. Selain dari-Nya mengandung arti banyak.[3]
Sebagaimana kebanyakan umat Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah pencipta (mubdi’). Tuhanlah yang menciptakan alam beserta isinya. Berbeda dengan Aristoteles, menurutnya Tuhan tak memiliki ciri-ciri seperi Tuhan Penyelenggara atau Pencipta, sebab akan turunlah derajat kesempurnaan-Nya jika Ia memikirkan segala sesuatu selain yang sempurna. Tuhan, menurutnya adalah penyebab gerak, akan tetapi dirinya sendiri tidak harus bergerak. Tuhan melahirkan sesuatu yang bergerak (alam semesta) dengan jalan dicintai.[4]Jadi bagi Al-Kindi, Tuhan bukanlah Pencipta alam semesta ini dalam pengertian dari tiada menjadi ada. Tuhan dalam istilah Aristoteles adalah The Prime Mover bukan The Creator.
B.     Filsafat Al Farabi tentang Tuhan
Sebelum kita membicarakan hakikat tuhan beserta sifat-sifatnya,terlebih dahulu kita membahas permasalahan wujud ,wujud itu ada dua:
1.      Wujud  yang mungkin atau wujud yang nyata karena lainnya (wajibul –wujud lighoirihi ) seperti wujud cahaya tidak akan ada, kalau sekirannya tidak ada matahari, cahaya itu sendiri menurut tabiatnya bias wujud dan tidak bias wujud, dengan kata lain cahaya adalah sebuah wujud yang mungkin, wujud yang mungkin menjadi bukti adanya sebab yang pertama (Tuhan), karena segala yang mungkin harus berakhir kepada sesuatu wujud yang nyata dan yang pertama kali ada. Bagaimanapun panjangnya rangkaian wujud yang mungkin itu, namun tetap membutuhkan kepada sesuatu yang memberinya sifat wujud, Karen sesuatu yang mungkin tidak bias wujud dengan sendirinya.
2.      Wujud yang nyata dengan sendirinya (wajibul-wujud li dzatihi). Wujud ini adalah wujud yang tabiatnya itu sendiri menghendaki wujudnya. Yaitu wujud yang apabila diperkirakan tidak ada, maka akan timbul kemustahilan sama sekali, sebab kalau wujud ini tidak ada maka yang lainpun juga tidak ada sama sekali. Ia adalah sebab pertama bagi semua wujud yang ada, inilah Tuhan (Allah).
Dari sini dapat disimpulkan bahwa hakikat wujud menurut Al-Farabi itu ada dua, yang pertama adalah wujud yang ada karena lainnya (wajibul-wujud lighoirihi), dan wujud ini disebut wujud mungkin, wujud yang mungkin memberikan petunjuk tentang sebab pertama (Tuhan). Yang kedua adalah wujud yang nyata dengan sendirinya (wajibul-wujud li dzatihi), wujud ini adalah wujud yang tabi’atnya itu sendiri menghendaki wujudnya, ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud, wujud yang wajib tersebut  dinamakan Tuhan.
1.      Hakikat Tuhan
Sampailah kini pada kajian hakikat  Tuhan yang dikemukakan oleh Al-Farabi, yakni menyatakan bahwa Allah adalah wujud yang sempurna dan yang ada tanpa suatu sebab, karena kalau ada sebab baginya, maka adanya Tuhan tidak sempurna lagi, berarti ada Tuhan bergantung pada sebab lain. Tuhan adalah wujud yang mulia yang tidak berawal dan tidak berakhir, sebagai sebab yang pertama berarti Tuhan tidak ada yang mengawali. Tuhan juga wujud yang paling mulia, karena tidak memerlukan yang lain. Lain halnya dengan wujud yang mungkin (makhluk) yang terdiri dari dzat dan bentuk, pada Tuhan tidak demikian adanya.
Apabila Tuhan terdiri dari unsur-unsur, maka dengan sendirinya akan terdapat susunan, bagian-bagian pada substansinya, jadi Tuhan adalah substansi yang tiada bermula, sudah ada dengan sendirinya dan akan ada untuk selamanya, oleh karena itu ia adalah substansi yang azali, yang ada dari semula dan selalu ada. Substansinya itu sendiri telah cukup jadi sebab bagi keabadian wujud-Nya.
Apabila  Tuhan lebih dari satu, maka Tuhan itu ada kalanya sama-sama wujudnya atau barang kali berbeda dalam sifat-sifat tertentu. Dengan demikian tiap-tiap Tuhan mempunyai dua macam sifat yaitu sifat umum yang dimiliki oleh Tuhan dan sifat-sifat khusus yang hanya terdapat pada masing-masing Tuhan, inilah sesuatu yang tidak mungkin.
Tuhan itu maha Esa tidak terbatas dalam segala sesuatunya, bila terdapat hal-hal yang menbatasi maka Tuhan tidak Esa lagi. Tuhan tidak dapat dirumuskan sama sekali dengan batasan-batasan yang akan memberi pengertian seperti halnya manusia, sebab suatu batasan berarti suatu penyusunan yang akan mengunakan golongan dan pembedaan atau digunakan pengertian zat dan bentuk seperti definisi kepada sesuatu benda atau barang, pada manusia dapat dikatakan hewan yang berakal, menunjukkan golongan, sedang berakal menunjukkan perbedaan yang ada dari golongan hal ini berbeda dengan Tuhan, oleh karena itu definisi tentang Tuhan mustahil dapat dirumuskan, suatu rumus definisi tentang Tuhan berarti menghilangkan keesaan Tuhan.
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian Tuhan menurut Al-Farabi adalah sebagai berikut, Tuhan adalah substansi yang azali, Tuhan Maha  Sempurna, tidak ada yang sempurna kecuali  wujudnya Tuhan tidak terdiri dari unsur-unsur, Tuhan tidak dapat didefinisikan karena apabila Tuhan didefinisikan maka akan menghilangkan keesaan Tuhan dan akan membatasi kemutlakan Tuhan.
2.      Sifat Tuhan
Tuhan adalah begitulah taksiran Al-farabi tentang keesaan Tuhan dan ketunggalan-Nya dan bahwa sifat Tuhan tidak berbeda dari dzat-Nya karena Tuhan adalah tunggal. Hal ini sejalan dengan pendapatnya Mu’tazilah bahwasanya sifat Allah itu tidak berbeda dengan dzat-Nya dengan kata lain ketika sifat Allah berbeda dengan substansi-Nya atau diberi sifat yang berwujud sendiri  dan kemudian melestarikannya pada Allah, maka sifat tersebut menjadi qadim pula sebagai substansinya yang bersifat qodim hal ini akan membawa pahan berbilangnya yang qadim ( ta’addud alqadim ), yang mana hal tersebut tidak boleh terjadi pada dzat Allah yang Maha Esa karena yang qadim itu adalah Allah.
Untuk tahu dan yakin tentang Esensi dan wujud Tuhan menurut Al-farabi, tidak perlu menambah sifat-sifat tertentu pada dzat Tuhan. Bagi Al-farabi, Allah adalah aql murni. Ia esa ada-Nya dan menjadi obyek pemikirannya hanya substansinya, tetapi cukup substansinya sendiri. Jadi Allah adalah ‘aql, ‘aqil, dan u’aqil ( akal, substansi yang berfikir dan yang terpikirkan ).
Demikian juga Allah Maha Tahu. Ia tidak membutuhkan sesuatu diluar dzat-Nya untuk tahu bahkan cukup dengan substansinya saja, jadi Allah adalah  ‘ilmu, substansi yang mengetahui, dan substansi yang diketahui ( ‘ilmu, ‘alim dan ma’lum ). Adapun tentang asmaul husna menurut Al-farabi kita boleh saja menyebutkan nama-nama tersebut sebanyak yang kita inginkan, akan tetapi nama-nama tersebut tidak menunjukkan adanya bagian-bagian pada dzat Allah atau sifat yang berbeda dari dzat-Nya.

3.      Pembuktian adanya Tuhan
Dalam adanya membuktikan adanya Tuhan, ada beberapa dalil yang dapat digunakan yaitu dalil ontology, teologi, dan dalil kosmologi. Al-Farabi dalam membuktikan adanya Tuhan menggunakan dalil kosmologi. Dan diantara dalil-dalil tersebut , dalil tentang penciptaan atau  kosmologi  yang banyak dipakai menurut istilah metafisika. Menurut Al-Farabi segala sesuatau yang ada pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan yaitu yang pertama ada sebagai kemungkinan, disebut wujud yang mungkin, dan yang kedua adalah sebagai keharusan disebut wujud yang wajib.
Pangkal pertama dari wujud yang mungkin ini tidak dapat. ditangkap dengan pancaindera. Jelasnya Al-Farabi menggunakan dalilnya atas dasar pemikiran mungkin dan wajib. Menurut Al-Farabi “setiap sesuatu yang ada dasamya ada kemungkinan adanya” dan “ada pula wajib adanya”.
Kemungkinkan adanya itu hendaklah ia mempunyai illat yang tampil mengutamakan adanya itu lalu memutuskan adanya dan kemudian mengadakanya ke alam wujud ini. Dan illat-illat ini tidaklah mungkin beredar dalam lingkungan yang tidak berakhir (vicious circle). Tetapi ia itu hendaklah berhenti pada satu titik “adanya”wajibul wujud “Allah” yang Illat itu tidak ada dalam mewujudkannya.
Segala sesuatu yang ada, pada dasarnya hanya mempunyai dua keadaan pertama ada sebagai kemungkinan disebut wujud yang mungkin, ada sebagai keharusan disebut dengan wujud yang wajib. Dalam keadaan yang pertama adanya ditentukan oleh adanya yang lain, dan keadaan kedua, adanya tanpa sesuatu yang lain atau ada dengan sendirinya dan Sebagai keharusan.
Wujud yang mungkin, adanya dapat disebabkan oleh wujud yang mungkin lainnya. Sebagai contoh suatu buah sebagai wujud yang mungkin buah itu merupakan akibat dari sebab perkawinan antara serbuk sari jantan dan sebuk sari betina yang ada pada pohon, pohon tersebut juga sebagai Wujud yang mungkin dari sebab biji buah yang ditanam. Dari rentetan tersebut tidaklah mungkin terjadi perputaran yang melingkar atau sebab akibat yang tanpa berkesudahan.
Suatu rangkaian yang kejadian pada akhirnya akan berhenti suatu titik akhir yaitu berkesudahan pada wujud yang wajib. Sebagai sebab pertama dari segala wujud yang mungkin. Wujud yang mungkin ditentukan oleh sebab yang lain, wujud yang wajib itu sendiri, yang disebut dengan Tuhan (Allah). Pembuktian dengan kosmologi seperti yang dilakukan oleh Al-Farabi termasuk dalil sederhana mudah dimengerti, tetapi kelemahan dalil ini berpangkal suatu keyakinan yang mengharuskan adanya Tuhannya. Jadi merupakan peloncatan pikiran dari kesimpulan adanya sebab pertama atau wujud wajib yang harus diyakininya, bahwa sebab pertama itu adalah Tuhan.[5]
Batasan filsafat, dalam risalah al-kindi tentang filsafat awal, berbunyi demikian: “Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batas-batas kemampuan manusia. Karena tujuan para filosof dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam praktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran.” Pada akhir risalahnya, ia mensifati Allah dengan istilah “kebenaran” yang merupakan tujuan filsafat. Maka satu yang benar (al-Wahid al-Haq) adalah yang pertama, sang pencipta, sang pemberi rizki semua ciptaan-Nya. Pandangan ini berasal dari filsafat Aristotelles, tetapi ‘penggerak tak tergerakkan’-nya Aristoteles diganti dengan sang ‘Pencipta’. Perbedaan ini menjadi sistem fillsafat al-kindi.[6]
C.    Filsafat Ibnu Sina tentang Tuhan
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memilki wujud tunggal, secara mutlak; sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, tetapi satu wujud atomic dalam wujud yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat dia adalah identic dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada kejadian lain yang eksisitensinya identic dengan esensinya. Dengan kata lain seorang eskimo yang tidak melihat gajah, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lainpun juga tidak akan ada.[7]
Dalam paham Ibnu Sina, essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-farabi. Akan tetapi dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut :
1.      Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil berwujud  (impossible being). Contohnya rasa sakit.
2.      Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
3.      Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai wujud selama lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[8]
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama, yakni wujud al-wujud. Ibnu Sina dalam menetapkan adanya Allah mengemukakan dalil ontologi yang sebelumnya telah pula dikemukakan Al-Farabi. Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Sina juga menyucikan Allah dari segala sifat yang di kaitkan dengan esensinya karena Allah maha Esa dan maha sempurna. Ibnu Sina juga berpendapat bahwa ilmu Allah hanya mengetahui yang universal di alam dan Ia tidak mengetahui yang persial. Ungkapan terakhir ini di maksudkan Ibnu Sina bahwa Allah mengetahui yang persial di alam ini secara tidak langsung, yakni melalui zat-Nya sebagai sebab adanya alam.
D.    Filsafat Al-Ghazali tentang Tuhan
Tuhan tidak mngetahui juz’iyyat bukanlah paham yang dianut oleh para filsuf muslim. Paham itu dianut oleh aristoteles.[9] Al-ghazali berupaya menampilkan pandangan Ibnu Sina dengan menyatakan bahwa Ibnu Sina berpendapat bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu, dengan pengetahuan umm, tidak masuk dalam kategori zaman, tidak berbada pengetahuan-Nya karena zaman yang lalu, yang akan datang dan yang sekarang. Meskipun demikian ia berpendapat bahwa tidaklah ghaib dari pengetahuan-Nya apa saja yang ada di langit dan bumi kendati sekecil atom. Hanya saja, dia mengetahui hal-hal yang juz’i individual dengan (pengetahuan) umum. Setelah panjang lebar menjelaskan pandangan Ibnu Sina itu, Al-Ghazali memilki pendapat bahwa kesimpulannya adalah Tuhan sebenarnya tidak mengetahui hal-hal yang juz’i, seperti tidak mengetahui siapakah Muhammad bin Abdullah, Abu Bakar ash-sidiq, Umar bin Khattab, dan sebagainya.
Al-ghazali mamandang bahwa Tuhan maha segala tahu baik besar ataupun kecil. Berbeda dengan Ibnu Rusyd, Tuhan hanya tahu yang universal, bukan perkara yang kecil, tudingan al-ghazali yang diungkapkan sebagai berikut:
Yang menjadi persoalan adalah pernyataan mereka,”Tuhan yang maha mulia mengetahui hal-hal yang bersifat universal, tetapi tidak hal-hal yang bersifat partikiular”. Pernyataan ini jelas-jelas menunjukkan ketidak beriamanan mereka. Sebaliknya yang benar adalah “tidak ada sebutir atom pun di langit maupun bumi luput dari pengetahuan-Nya.”
E.     Filsafat Ibnu rusyd tentang Tuhan
Ibnu Rusyd menyatakan bahwa para filsuf muslim tidaklah mempersoalkan tetang apakah Tuhan mengetahui hal – hal yang juz’iyat ( perinci yang terjadi ) pada alam semesta ini atau tidak mengetahuinya. Seperti halnya setiap ulama islam, para filsuf muslim juga berpendapat bahwa tuhan mengetahui hal – hal yang bersifat juz’i pada alam ini. Yang mereka persoalkan adalah bagaimana cara Tuhan mengetahui hal – hal yang bersifat juz’I itu. Menurut ibnu Rusyd, para filsuf muslim berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tetang hal – hal yang bersifat juz’i itu tidak seperti pengetahuan menusia tentang hal – hal demikian karena pengetahuan manusia mengambil bentuk efek ( akibat dari memerhatikan dari hal- hal juz’i itu ), sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yakni sebab bagi  munculnya hal – hal yang bersifat juz’i itu. Selain itu, ketidaksamaan tersebut disebabkan oleh pengetahuan Tuhan itu bersifat qadim, yakni semenjak azali. Tuhan mengetahui hal – hal yang bersifat juz’i di alam semesta ini, betapapun kecilnya hal tersebut. Manusia tidak memiliki pengeetahuan sama sekali, tetapi secara berangsur – angsur, memperoleh pengetahuan setelah memerhatikan bagian demi bagian alam secara seksama.[10]
Ibnu Rusyd membicarakan filsafat ketuhanan di berbagai karangannya, antara lain pada [11]tahafut al tahafut dan mana-hij al-adillah, filsafat ini membahas tentang wujud tuhan, sifat-sifat dan hubungan-nya dengan alam. Ibnu Rusyd meneliti berbagai golongan yang timbul dalam islam. Menurut pendapat dia yang paling terkenal ada 4 yaitu : Asy’ariyah, Mu’tazilah, Batiniah, dan Haswiyah. Masing-masing golongan mempunyai kepercayaan yang berlainan tentang Tuhan, dan banyak memindahkan kata-kata syara’ dari arti lahirnya kepada takwilan-takwilan yang di sesuaikan dan kepercayaannya. Menurut golongan Asy’ariyah bahwa kepercayaan tentang wujud tuhan dapat di capai melalui akal pikiran.
Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mengenal pencipta itu hanya mungkin dengan mempelajari alam wujud yang di ciptakannya untuk di jadikan petunjuk bagi adanya pencipta itu.
Menurut Ibnu Rusyd, ada dua dalil qath’i mengenai esensi Tuhan[12], yaitu:
1.      Dalil ‘Inayah
Dalil ini menurut ibnu rusyd merupakan argumentasi terpenting untuk membuktikan kebenaran Tuhan. Ibnu Rusyd menyebutkan bahwa dalil ‘inayah itu dibangun atas dua dasar utama, yaitu:
a.       Bahwa semua yang ada di alam ini sesuai untuk eksistensi manusia.
b.      Kesesuaian itu tidak muncul secara tiba-tiba tanpa usaha, melainkan diatur oleh pencipta yang berkuasa, yaitu Tuhan.
2.      Dalil Ikhtira’
Struktur dalil ikhtira’ berdasar pada dua prinsip, yaitu:
a.       Bahwa semua maujud adalah diciptakan.
b.      Bahwa semua yang diciptakan pasti mempunyai pencipta.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Tuhan menurut Al-Kindi tidak aniyah dan tidak mahiyah Tuhan tidak aniyah karena Tuhan tidak sama dengan benda-benda yang ada di alam dan tidak mahiyah karena Tuhan tidak mempunyai genusn maupun spesies, Ia hanya satu dan tidak ada yang setara dengannya.
2.      Al-Farabi membagi wujud menjadi dua, yang pertama adalah wujud yang ada karena lainnya (wajibul-wujud lighoirihi), dan wujud ini disebut wujud mungkin, wujud yang mungkin memberikan petunjuk tentang sebab pertama (Tuhan). Yang kedua adalah wujud yang nyata dengan sendirinya (wajibul-wujud li dzatihi), ia adalah sebab yang pertama bagi semua wujud, wujud yang wajib tersebut  adalah Tuhan, Tuahn tidak dapat didefinisikan. Tetang sifat Tuhan, pendapat Al-farabi sama dengan kaum Mu’tazilah.
3.      Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memilki wujud tunggal, secara mutlak; sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Pendapat Ibnu Sina tetang sifat Tuhan sama dengan Al-Farabi. Tuhan hanya mengetahui hal – hal yang bersifat universal dan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat parsial. Ia membagi segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan; mumtani’al-wujud,mumkin al-wujud, wajib al-wujud.
4.      Al-ghazali mamandang bahwa Tuhan maha segala tahu baik besar ataupun kecil.
5.      Ibnu Rusyd berpendapat bahwa pengetahuan Tuhan tetang hal – hal yang bersifat particular itu berbeda dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Tuhan merupakan sebab dan illat bagi wujud, sedangkan wujud adalah sebab dan illat bagi pengetahuan kita.




DAFTAR PUSTAKA
Kamil, Muhammad-Muhammad ‘Uwaidah, Ibnu Rusyd Filosof Muslim dari Andalusia, Jakarta : Riora Cipta, 2001
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999
Mustofa,  filsafat islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007
Supriayadi, Dedi, pengantar filsafat islam konsep,filsuf, dan ajarannya, Bandung: CV. Putaka setia, 2010
Syarif, M., Para Filosof Muslim, Bandung : Mizan, 1993
Supriyadi, Dedi, Pengantar filsafat islam, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2009
Zar, Sirajuddin, filsafat islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012


[1]Hasyimsyah  Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999) ,45-46.
[2]Sirajuddin Zar, filsafat islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012).86.
[3]Hasyimsyah  Nasution, Filsafat Islam., 47.
[4]Ibid.,48.
[6]M. Syarif, Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1993).
[7]Dedi supriayadi, pengantar filsafat islam konsep,filsuf, dan ajarannya,( Bandung: CV. Putaka setia, 2010),130.
[8] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 39-40
[9]Dedi supriyadi, pengantar filsafat islam, (Bandung: cv,pustaka setia, november 2009), hal.70-71
[10]Dedi supriayadi, pengantar filsafat islam konsep,filsuf, dan ajarannya., 238.
[11]Mustofa, filsafat islam, (Bandung: CV. Pustaka, 2007), 15.
[12]Kamil Muhammad Muhammad ‘Uwaidah, Ibnu Rusyd Filosof Muslim dari Andalusia,( Jakarta, Riora Cipta: 2001),85.
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar