Senin, 09 September 2013

KONSEPSI PENCIPTAAN ALAM



KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahNya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah dengan lancar.
Kami selaku penyusun makalah Filsafat Islam, mengucapkan terimakasih kepada pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, khususnya pembaca.
Tentunya dalam pembuatan makalah Filsafat Islam ini masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurnaan, maka dari itu kami penyusun makalah ini mengharap kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga penyusun mampu membuat makalah dengan lebih baik lagi.


Surabaya, 24 Mei 2013

Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Alam merupakan salah satu tema filsafat yang sangat menarik untuk dikaji. Banyak perdebatan yang terjadi dikalangan para pemikir islam khususnya para filosof dan teolog yang memperdebatkan masalah penciptaan alam, apakah alam yang ada saat ini merupakan suatu ciptaan atau pancaran dariNya. Memang secara kronologis dapat dikatakan, filsafat alam adalah kajian filsafat yang pertama kali muncul dalam pemikiran manusia. Hampir semua pemikir islam memikirkan tentang konsep alam, termasuk di kalangan filosof dan  teolog. Mereka masing-masing mempunyai teori untuk menunjang pemikirannya terhadap konsep alam.
Namun dalam hal ini, tidak semua orang memikirkan secara mendalam tentang konsep alam yang telah ada saat ini. Hanya pemikir-pemikir seperti filosof yang memikirkan tentang kejadian alam secara mendalam. Banyak orang awam tidak paham tentang proses yang terjadi pada alam ini sehingga mengakibatkan adanya kesalahan persepsi dalam menafsirkan konsep alam yang telah ada. Untuk menghindari hal tersebut maka pembahasan tentang alam ini perlu dikaji lebih mendalam lagi.
B.     Rumusan Masalah
  1. Bagaimanakah proses penciptaan tentang alam semesta?
  2. Bagaimanakah pendapat para tokoh tentang qadimnya alam?
C.    Tujuan
  1. Menjelaskan tentang proses penciptaan alam semesta.
  2. Mengetahui pendapat dari para tokoh filsuf dan teolog tentang qadimnya alam.

BAB II
KONSEPSI PENCIPTAAN ALAM
A.    Proses Penciptaan Alam (suatu kehendak/sebuah Keniscayaan Logis)
Permasalahan tersebut merupakan suatu perdebatan yang sangat penting di kalangan pemikir muslim, khusunya para filosof dan teolog. Disini terdapat sebuah  analogi yang mengumpamakan Tuhan seperti Cahaya atau lebih jelasnya matahari, sedangkan alam sebagai pancaran cahaya, maka dari situ timbul pertanyaan apakah memancarnya cahaya tersebut berdasarkan kehendak bebas matahari ataukah merupakan sebuah keniscayaan.
Menurut Al-Kindi, di dalam risalahnya yang berjudul al-ibanat al-fa’ilat, al-aribat fi kawn wa al-fasad, pendapatnya sejalan dengan aristoteles bahwa benda di alam ini dapat dikatakan wujud apabila terhimpun empat illat, yakni: Al-Unshuriyyat (materi benda), Al- Shuriyyat (bentuk benda), Al- Fa’ilat (pembuat benda, agent), Al- tamamiyat (manfaat benda).
Selanjutnya Al-Kindi membagi illat al-fa’ilat menjadi qaribat (dekat) dan  ba’idat  (jauh), illat yang dekat ada yang bertalian dengan alam dan ada pula yang bertalian dengan Allah. Sementara itu illat yang jauh hanya bertalian dengan Allah. Kalau dicontohkan dengan sebatang kapur tulis, pabrik yang memproduksi kapur disebut illat  yang dekat dan manusia yang menciptakan pabrik disebut illat yang jauh berasal dari alam (ba’idat thabi’iy), namun pada hakikatnya yang menciptakan/pencipta pabrik dan manusia tersebut adalah illat ba’idat ilahiy (sebab yang jauh dari Tuhan).[1]Bagi al-Kindi pencipta dunia (Tuhan) haruslah merupakan penyebab bagi yang lain, dan wujud yang seperti itu haruslah tidak bersebab. Karena sebagai sebab dari segala sesuatu, maka ia hanya dapat disebabkan oleh dirinya sendiri. Dengan demikian Wujud Pertama harus lebih ungggul dari segala sesuatu yang lain dan tidak bersekutu dengan sesuatu yang diciptakan. Dengan kata lain, alam menurut al-Kindi adalah sebuah ciptaan.
Namun berbeda dengan konsep al-Kindi, menurut teori emanasi yang diungkapkan oleh Al-Farabi, bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara pancaran. Adapun proses terjadinya yang banyak dari  Yang satu, Al-Farabi berpegang pada asas: yang berasal dari Yang satu pasti satu juga (la yafidu an al-wahid illa wahidun). Menurut asas itu, Allah Yang Maha Esa mustahil dapat melimpahkan secara langsung beraneka macam hasil emanasi, apalagi menciptakan aneka warna ciptaan.[2]Begitu pula yang diungkapkan oleh ibnu Sina bahwa alam terjadi melalui proses emanasi, namun bedanya dalam teori emanasi Ibn Sina, pada akal pertama memiliki 3 objek pemikiran yakni, Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.[3] Dengan demikian jelas, bahwa bagi filosof, alam merupakan pancaran dari kegiatan berpikir Tuhan, tercipta (dalam arti memancar dari Tuhan), tidak melalui kehendakNya, melainkan sebagai sebuah keniscayaan logis. Kapan saja ada kegiatan berpikir maka niscaya ada sesuatu yang terpancar darinya, disengaja atau tidak disengaja.[4]
Di sini Al-Ghazali sebagai teolog menentang keras terhadap teori emanasi yang dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina, menurut Al-Ghazali Tuhan menciptakan alam dengan sengaja/dengan rencana. Dengan kata lain, sesuai kehendakNya, bukan sebuah keniscayaan. Alam ini, kata Al-Ghazali dijadikan Allah berdasarkan iradahNya yang azali dan sesuai pula dengan ilmu-Nya yang azali. Al-Ghazali menggunakan beberapa istilah yang salah satunya adalah al-‘Aql (akal) untuk mencerminkan teori limpahan, kemudian menyatakan bahwa akal adalah makhluk pertama yang keluar dari Yang Esa (Allah) yang telah menciptakannya dengan qudrahNya. Akal itu mendahului materi dan zaman, tetapi ia terkemudian dari qudrah (amr Allah), dari sisi dzat, bukan zaman.[5]
Dalam kitabnya yang terkenal, Tahafut al-Falasifah, menyatakan bahwa alam dicipta/memancar secara niscaya dari aktivitas berpikir Tuhan akan menjerumuskan pada kepercayaan bahwa Tuhan tidak mempunyai kehendak, kepedulian ataupun rencana terhadap alam semesta, dan ini tentunya bertentangan dengan pernyataan yang melimpah dalam al-Qur’an bahwa Alah memiliki kehendak, ketika ia bermaksud menciptakan sesuatu.
Terhadap kritikan Al-Ghazali pihak filosof memberikan jawaban. Ibnu Rusyd berusaha memadukan pendapat yang mengatakan bahwa alam ini diciptakan. Alam adalah sesuatu yang mungkin ada dengan sendirinya, tetapi ia adalah sesuatu yang harus ada lantaran sesuatu yang lain, karena ia ada dalam ilmu Tuhan. Dia  menyatakan bahwa alam diciptakan Tuhan melalui kehendak seperti yang dinyatakan para teolog bukan tanpa problem, misalnya andai alam dicipta melalui kehendak Tuhan maka pertanyaannya kapan Tuhan memiliki kehendak tersebut, sejak zaman azali atau kemudian. Kalau sejak azali maka alam tentunya sudah harus ada sejak azali bersama-sama tuhan. Tapi ini tentunya akan ditolak oleh para teolog. Tapi kalau kehendak itu muncul kemudian setelah sebelumnya ia tidak memiliki kehendak maka akan timbul masalah yakni adanya perubahan dari “tidak dimilikinya kehendak” kepada “dimilikinya kehendak untuk mencipta” oleh Tuhan, tidak terjadi begitu saja tanpa adanya murajjih (alasan yang memadai) untuk perubahan ini yang datang dari luar. Tapi itu mustahil karena tidak ada yang lain pada saat itu kecuali Tuhan sendiri. Oleh karena itu para filosof memilih alternatif kedua yakni bahwa alam dicipta sebagai sebuah keniscayaan logis bukan atas kehendak Tuhan.
B.     Eksistensi Alam (teori qadimnya alam)
Persoalan berikutnya, para filosof mempertanyakan apakah Allah menciptakan alam itu secara langsung dari tidak ada (creatio ex nihilo) sehingga alam merupakan makhluk yang baru, ataupun dari tidak langsung, yakni dari sesuatu bahan yang telah ada, sehingga alam ini merupakan makhluk qadim.[6]
Alam bagi Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Dalam karyanya yang berjudul Rasail Al-Kindi al-Falsafiyah, dia menjelaskan bahwa alam ini dijadikan Allah dari tidak ada. Allah tidak hanya menjadikan, tetapi juga mengendalikan dan mengaturnya serta menjadikannya sebagai sebab yang lain. Tentang baharunya alam, Al-kindi mengemukakan tiga argumen, yakni gerak, zaman, dan benda. Benda untuk menjadi ada harus ada gerak. Massa gerak untuk menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu menunjukkan adanya zaman. Adanya gerak tentu mengharuskan adanya benda, mustahil kiranya ada gerak tanpa ada benda. Ketiganya sejalan dan akan berakhir. Oleh karena itu, al-Kindi menyanggah teori kekadiman alam seperti yang dikatakan oleh Aristoteles.
Sedangkan menurut Al-Farabi dengan teori emanasinya, alam ini dijadikan secara tidak langsung, karena sukar dipahami jika alam yang beraneka ini dijadikan secara langsung, karena dapat menyentuh ke–Esaan Tuhan.[7] Al-Farabi juga berpendapat alam ini tidak memiliki permulaan waktu, karena alam ini tidak terjadi secara berangsur melainkan sekaligus dengan tidak berwaktu.[8] Bagi Al-Farabi, Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada menjadi ada melalui pancaran. Tuhan menciptakan alam semenjak azali dengan materi, alam berasal dari energi yang qadim.[9]Dengan demikian, para filosof percaya bahwa alam itu kekal/abadi karena ada bersama-sama dengan Tuhan.
Sama halnya dengan al-Farabi, menurut Ibn Sina, alam ini sudah ada sejak zaman azali, karena alam semesta ini terjadi dengan sebab Tuhan memikirkan dzat-Nya sendiri.[10] Dari teori keqadiman alam sangat terikat dengan kaidah logika Aristoteles yang berkesimpulan, jika sebab telah ada maka akibat harus juga ada, tanpa perlu adanya jarak waktu antar keduanya. Dalam menentukan teori keqadiman alam, Ibnu Sina memberikan pengertian bahwa yang qadim itu tidak hanya dalam arti zaman tapi juga dalam arti martabat, kemuliaan, watak dan kausalitas. Berdasarkan pengertian dari Tuhan sejak azali, alam semesta ini bersifat baru karena terkemudian dari Tuhan dari segi kemuliaan, tabiat, sebab dan martabat.[11]
Pendapat para filusuf bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula, tidak dapat diterima oleh kalangan teologi islam, sebab menurut konsep teologi Islam Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta adalah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio). Kalau alam dikatakan tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dengan demikian Tuhan bukanlah pencipta. Pendapat seperti ini membawa kekufuran. Demikian gugatan Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah.[12] Kemudian kalau alam itu abadi dan Tuhan abadi, maka bagaimana menentukan siapa yang mencipta dan dicipta. Dia menegaskan bahwa alam semesta ini adalah ciptaan Tuhan, dengan kata lain Tuhan itu abadi sedangkan alam itu baru/dicipta. Al- Ghazali membedakan Tuhan dengan alam semesta sebagai yang “kadim” dan yang “baru”. Karena itu, wujud yang kadim (Tuhan) adalah menjadi sebab bagi wujud yang baru.
Tuhan sebagai Pencipta, menurut Al-Ghazali harus bersifat kadim. Karena jika Tuhan juga baru sebagaimana alam, tentu saja Tuhan membutuhkan sebab yang lain. Konsep penciptaan bagi Al-Ghazali adalah Tuhan menciptakan alam ini dari sesuatu yang belum ada menjadi ada. Dari tesis tersebut, Al-Ghazali berpijak pada konsep “yang ada”. Segala yang ada, tidak terlepas dari dua bentuk, yaitu Pencipta (al-Khalik) dan yang diciptakan (makhluk). Dan jelas, keduanya memiliki  karakteristik yang berbeda satu sama lain.
Terhadap pandangan Al-Ghazali, Ibn Rusyd tampil membela para filsuf dari serangan pengkafiran. Dalam bukunya yang berjudul Tahafut al-Tahafut, dia berpendapat bahwa creatio ex nihilo tidak mungkin terjadi. Dari yang tidak ada (al-‘adam), atau kekosongan tidak mungkin berubah menjadi ada (al-wujud). Yang mungkin terjadi ialah “ada” yang berubah menjadi “ada” dalam bentuk lain. Para filsuf meyakini bahwa alam dicipta bukan dari tiada mutlak (creatio ex nihilo), tetapi dicipta, mengikuti Aristoteles dari materi awal. Namun salah paham terjadi dalam pengertian tentang materi awal. Materi awal bukanlah materi seperti kita kenal sekarang ini melainkan yang dimaksudadalah materi awal berupa potensi yang darinya alam tercipta sebagai aktualisasinya. Secara fisik materi tersebut belum mewujud, tetapi punya potensi atau kemungkinan untuk mewujud.
Mungkin itulah sebabnya mengapa Ibn Sina menyebut materi awal ini yakni alam pada dirinya sebagai mumkin al-wujud, yaitu wujud yang mungkin, dalam bentuk potensi untuk ada tetapi belum lagi mewujud seperti sekarang. Potensi alam untuk mengada inilah yang disebut materi awal, dan inilah yang telah ada sejak azali sebagai realitas potensial dan sebagai kategori logis.[13]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bagi Al-Kindi, pencipta dunia (Tuhan) haruslah merupakan penyebab bagi yang lain, dan wujud yang seperti itu haruslah tidak bersebab. Karena sebagai sebab dari segala sesuatu, maka ia hanya dapat disebabkan oleh dirinya sendiri. Alam bagi Al-Kindi bukan kekal di zaman lampau (qadim) tetapi mempunyai permulaan. Namun menurut teori emanasi yang diungkapkan oleh para filosof, termasuk al-Farabi dan Ibn Sina, bahwa Tuhan menciptakan sesuatu dari bahan yang sudah ada secara emanasi (pancaran). Al-Farabi juga berpendapat alam ini tidak memiliki permulaan waktu, karena alam ini tidak terjadi secara berangsur melainkan sekaligus dengan tidak berwaktu.
Namun berbeda dengan pandangan kaum teolog, bahwa alam ini, kata Al-Ghazali dijadikan Allah berdasarkan iradahNya yang azali dan sesuai pula dengan ilmu-Nya yang azali. Konsep teologi Islam Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud pencipta adalah mengadakan sesuatu dari tiada (creatio ex nihilio).Sedangkan menurut Ibn Rusyd, alam ini diciptakan. Alam adalah sesuatu yang mungkin ada dengan sendirinya, tetapi ia adalah sesuatu yang harus ada lantaran sesuatu yang lain, karena ia ada dalam ilmu Tuhan. Dan menurutnya, alam ini telah dicipta dari materi awal.
B.     SARAN
Dari pembahasan tersebut, maka diharapkan dapat meneguhkan keimanan seseorang terhadap Sang Pencipta dan lebih bisa memahami tentang apa yang terjadi pada alam semesta.


DAFTAR PUSTAKA
Ichwayudi, Budi. 2008. Filsafat Di Dunia Islam. Surabaya: Jauhar Surabaya.
Kartanegara, Mulyadi. 2006. Gerbang Kearifan. Jakarta: Lentera Hati.
Nasution, Harun. 1973. Filsafat Dan Mistisisme. Jakarta: Bulan Bintang.
Nasution, Hasyimsyah. 1999. Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Nata, Abudin. 1993. Ilmu Kalam Filsafat Dan Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.
Rijal, Syamsul. 2003. Bersama Al- Ghazali Memahami Filosofi Alam. Yogyakarta: Arruzz.
Zar, Sirajuddin. 2010. Filsafat Islam . Jakarta: Raja Grafindo Persada.


[1]  H. Sirajuddin zar. Filsafat Islam  (jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) 203
[2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1999) 37
[3] Syamsul Rijal, Bersama Al- Ghazali Memahami Filosofi Alam, (Yogyakarta:Arruzz, 2003) 79
[4] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan,  (Jakarta: Lentera Hati, 2006) 95
[5] Budi Ichwayudi, Filsafat Di Dunia Islam, (Surabaya: Jauhar Surabaya, 2008) 100
[6] Budi Ichwayudi, Filsafat Di Dunia Islam, (Surabaya: Jauhar Surabaya, 2008) 88
[7] Ibid, 89
[8] Harun Nasution, Filsafat Dan Mistisisme (Jakarta: Bulan Bintang, 1973) 28
[9]Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1999) 37
[10]Abudin Nata, Ilmu Kalam Filsafat Dan Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Press, 1993) 124-125
[11]Syamsul Rijal, Bersama Al- Ghazali Memahami Filosofi Alam, (Yogyakarta:Arruzz, 2003) 81
[12] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1999) 120
[13] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan,  (Jakarta: Lentera Hati, 2006) 100-101



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................        i
DAFTAR ISI ................................................................................................       ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang....................................................................................       1
B.     Rumusan Masalah...............................................................................       1
C.     Tujuan.................................................................................................         1
BAB II KONSEPSI PENCIPTAAN ALAM
A.    Proses Penciptaan Alam......................................................................        2
B.     Eksistensi Alam...................................................................................        4
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................       8
B.     Saran..................................................................................................       8
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................        9  



Tidak ada komentar:

Posting Komentar