Rabu, 04 September 2013

PENDIDIKAN PESANTREN



PENDIDIKAN PESANTREN
KARYA TULIS ILMIYAH
Diajukan untuk memenuhi tugas  UAS mata kuliah
TPKI atau Bahasa Indonesia
Description: Description: Description: Description: Description: Description: Description: D:\logo iain sunan ampel surabaya 2.png

Dosen Pengampuh :
Dr. phil. Khoirun Niam

Disusun Oleh :
Bagus Waskito Utomo : D01212006

Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam
Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
2012


Kata pengatar

Assalamu alaikum Wr. Wb .
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang mana atas berkat dan rahmatNya  kami dapat menyelesaikan tugas UAS yang berjudul ”Pendidikan Pesantren” ini dengan baik meskipun masih banyak terdapat kesalahan diberbagai tempat.
Dan tidak lupa, kami ucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing yang telah membantu atas terselesaikanya karya ilmiyah yang berjudul “Pendidikan Pesantren” ini dengan baik.
Saya juga mengucapkan terimakasih kepada para pembaca karya ilmiyah ini khususnya mahasiswa dan mahasiswi yang mempelajari karya ilmiyah ini. Semoga karya ilmiyah yang berbentuk makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Amiin





                                                                                                               Penulis


                                                                                              Surabaya, 22 Desember 2012



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................        i
DAFTAR ISI.......................................................................................................        ii

A.    Latar Belakang................................................................................................. 1
B.     Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C.     Pengertian pendidikan...................................................................................... 2
D.    Pengertian pendidikan agama........................................................................... 3
E.     Pengertian pesantren......................................................................................... 4
F.      Pendidikan pesantren....................................................................................... 6
G.    Ciri – ciri pendidikan pesantren........................................................................ 10
H.    Dinamika pesantren.......................................................................................... 11
I.       Kesimpulan....................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 15
                               









  1. Latar belakang
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.Description: http://rochem.wordpress.com/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif?m=1207340914g
Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggab sebagai produk budaya Indonesia asli. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke- 13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat – tempat pengajian. Bentuk – bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat – tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu ini pendidikan pesantren merupakan satu – satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggab sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar islam, khususnya menyangkut praktek kehuduban keagamaan[1]
Pesantren merupakan tempat belajar dan menimbah ilmu sebanyak – banyaknya terutama ilmu tentang agama. Yang akan mencetak alumni – alumni yang handal dan mahir dalam masalah keagamaan.


  1. Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendidikan?
2.      Apa pengertian pendidikan Agama?
3.      Apa pengertian pesantren?
4.      Apa yang dimaksut pendidikan pesantren?
5.      Apa saja ciri –ciri pendidikan pesantren?
6.      Bagaimana dinamika pesantren mulai ada hingga sekarang?
  1. Pengertian pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaranagar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat[2]
Pada hakekatnya pendidikan adalah untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Siswa sebagai subjek belajar, memiliki potensi dan karakteristik unik, sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Kemampuan dan kesungguhan siswa merespon pengetahuan, nilai dan ketrampilan mempunyai andil yang besar dalam keberhasilan belajar. Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak hal yang sangat kompleks, yaitu siswa, sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat. Untuk menghasilkan siswa yang berkualitas dan berprestasi, perlu adanya optimalisasi seluruh unsur tersebut. Tugas guru membantu siswa mencapai tujuannya, maksudnya guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi, tetapi justru siswa yang aktif mencari informasi. Tugas guru mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan sesuatu yang baru bagi anggota kelas (siswa). Guru juga dapat mengembangkan iklim komunikasi di kelas selama pembelajaran berlangsung. Iklim komunikasi yang dimaksud adalah adanya umpan balik interaktif antara guru dan peserta didik. Dengan demikian, siswa akan mampu memberikan respon balik terhadap materi pembelajaran secara aktif, tidak harus menunggu informasi dari guru.
Berbicara tentang persoalan pendidikan  sama halnya membicarakan tentang kehidupan, sebab pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh setiap individu menuju arah yang lebih baik sesuai dengan potensi kemanusiaannya. Proses ini hanya akan berhenti ketika nyawa sudah tidak ada dalam raga manusia. Dalam Islam pendidikan diperlukan untuk membantu meneguhkan eksistensi dalam mengemban fungsi abid dan kholifah. Eksistensi manusia sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu menjalankan kedua fungsi tersebut.
Selain itu, pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia. Karna itu, semua yang ada dalam praktik pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitroh yang dimiliki, sebagai mahluk indifidu yang khas, dan sebagai makhluk social yang hidub dalam realitas social yang majemuk. Untuk itu, pemahaman yang utuh tentang karakter manusia wajib dilakukan sebelum proses pendidikan dilaksanakan[3]
  1. Pendidikan Agama
Pendidikan agama bukanlah sekedar mengajarkan pengetahuan agama melatih keterampilan anak dalam melaksanakan ibadah. Akan tetapi, pendidikan agama jauh lebih luas dari pada itu, ia pertama – tama bertujuan untuk membentuk kepribadian anak, sesuai dengan ajaran agama. Pembinaan sikab, dari dapa pandai menghafal dalil – dalil dan hukum – hukum agama, yang tidak diresabkan dan dihayatinya dalam hidub.
Pendidikan agama hendaknya dapat mewarnai kepribadian  individunya, seingga agama itu, benar – benar menjadi bagian dari pribadinya yang akan menjadi pengendali dalam hidubnya dikemudian hari. Untuk tujuan pembinaan, maka pendidikan agama hendaknya diberikan oleh guru yang benar – benar tercermin agama itu dalam sikab, tingkah laku, gerak – gerik, cara berpakaian, cara berbicara, cara mennghadapi persoalan dan dalam keseluruhan pribadinya atau dengan singkatdapat dikatakan bahwa pendidikan agama akan sukses, apabila ajaran agama ituhidub dan tercermin dalam pribadi guru itu
Pendidiakn agama menyangkut manusia seutuhnya, ia tidak hanyai  membekali anak dengan pengetahuan agama atau mengembangkan intelek anak saja dan tidak pula mengisi dan menyuburkan perasaan (sentiment) agama saja, akan tetapi ia menyangkut keseluruhan diri pribadi anak, mulai dari latiahan – latihan (amaliyah) sehari – hari, yang sesuai dengan ajaran agama, sampai kepada pengenalan dan pengertian terhadab ajaran agama, baik yang menyangkut hubungan manusia dengan tuhan, manusia dengan manusia lain, dan manusia dengan alam, serta manusia dengan dirinya sendiri[4].
Pendidikan agama itu akan lebih berkesan dan berhasil guda serta berdaya guna, apabila anak (keluarga, sekolah dan masyarakat) sama – sama mengarah kepada Pembina jiwa agama pada anak.
Pendidikan agama yang baik, tidak saja memberi manfaat bagi yang bersangkutan akan tetapi akan membawa keuntungan dan manfaat terhadab masyarakat lingkungannya bahkan masyarakat ramai dan umat manusia seluruhnya.
  1. Pengertian Pesantren.
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santridengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam[5]
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.
Pesantren, jika disandingkan dengan lembaga pendidikan yang pernah muncul di Indonesia, merupakan sistem pendidikan tertua saat ini dan dianggab sebagai produk budaya Indonesia asli. Pendidikan ini semula merupakan pendidikan agama Islam yang dimulai sejak munculnya masyarakat Islam di Nusantara pada abad ke- 13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat – tempat pengajian. Bentuk – bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat – tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu ini pendidikan pesantren merupakan satu – satunya lembaga pendidikan yang terstruktur, sehingga pendidikan ini dianggab sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar islam, khususnya menyangkut praktek kehuduban keagamaan[6]
Secra subtansial, pesantren merupakan institusi keagamaan yang tidak mungkin bisa dilepaskan dari masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Lembaga ini tumbh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memosisikan dirinya sebagai bagian masyarakat dalam pengertiannya yang transformative. Dalam konteks ini pendidika pesantren pada dasarnya merupakan penididikan yang sarat dengan nuansah transformasi social.
Pada awal berdirinya, pengabdian pesantren terhadap masyarakat, sesuai zamannya, berbentuk sangat sederhana dan, bisa di bilang sangat alami. Pengabdian tersebut diwujudkan, misalnya, dengan “pelayanan keagamaan” kepada masyarakat, menyediakan wadah bagi sosialisasi anak-anak, dan sebagai tempat bagi para remaja yang dating dari berbagai daerah yang sangat jauh unutk menjalanin semacam ”situs peralian” dari fase remaja ke fase selanjutnya[7]
  1. Pendidikan Pesantren
Pesantren merupakan lembaga keagamaan yang sarat nilai dan tradisi luhur yang telah menjadi karakteristik pesantren pada hampir seluruh perjalanan sejarahnya. Secara potensial, karakteristik tersebit memilki peluang cukub besar untuk dijadikan dasar pijakan dalam rangka mnyingkapi globalisasi dan persoalan – persoalan lain yang menghadang pesantren, secara khsus, dan masyarakat luas, secara umum. Misalnya kemandirian, keihlasan, kesederhanaan: ketiganya merupakan nilai – nilai yang dapat melepaskan masyarakat dari dampak negative globalisasi dalam bentuk ketergantungan dan pola hidup konsumerisme yang lambat tapi pasti akan menghancurkan sendi – sendi kehiduban umat manusia[8]
Pesantren sebagai lembaga pendidikan kegamaan merupakan realitas yang tidak  dapat dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan tersebut dan menjadikannya sebagai fokus kegian. Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren telah menunjukkan daya tahan yang cukub kokoh sehingga mampu melewati berbagai zaman dengan beragam masalam yang dihadapinya. Dalam sejarahnya itu pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu yang tidak kecil bagi islam di negeri ini.
            Pesantren tidak dapat berbangga hati dan puas dengan sekadar mampu bertahan atau terhadab sumbangan yan telah diberikan dimasa lalu. Signifikansi pesantren bukan hanya terletak pada dua hal tersebut, tapi pada kontribusinya yang nyata bagi umat islam, secara khusus, dan masyarakat, secara luas, dimasa kini dan mendatang. Justru kalau kita mau jujur, pertahanan pesantren ternyata menyimpan berbagai persoalan yang cukub serius. Sebab dalam realitasnya daya tahan tersebut, pada satu sisi, telah membuat terjadinya pengentalan romantisme konservatif,dan pada sisi lain, hal itu telah menyeret pesantren kedalam perubahan yang sekadar “latah” dan tanpa antisipatif.
            Tulisan ini mengangkat seputar masalah itu. Unutk penyandraannya, nilai – nilai plus yang dimiliki pesantren perlu dipapar terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut, peran tepat yang harus diemban pesantren dalam kehiduban kontemporer yang berlangsung dewasa ini mesti didiskusikan secara arif dan kritis sehingga eksistensi pesantren akan benar – benar bermakna dalam kehiduban masyarakat dan bangsa dalam konteks kekinian[9]
Hal lain yang hingga kini masih dimiliki pesantren adalah penekanannya pada nilai – nilai yang dianutnya seperti kemandiriannya, kesedehanaan, dan keikhlasan. Nilai – nilai dasar ini dibingkai dengan paradikma yang sangat menekannkan kepada apresiasi terhadab segala tradisi yang baik sekaligus akomodatif terhadab bentuk – bentuk reformasi yang dapat dipertanggung jawabkan. Nilai – nilai yang cukub kental didunia pesantren ini pada perinsibnya merupakan nilai – nilai keagamaan otentik yang memiliki benang merah yang kuat dengan kesejarahan, dan normativitas islam hakiki[10]
Sistem pendidikan pesantren adalah sistem pendidikan yang paling tepat untuk mencetak generasi-generasi bangsa yang unggul. Sebab di dalamnya, terdapat tiga unsur penting dalam pendidikan yang berjalan intens dan selalu berada dalam pengawasan tenaga pendidik; formal, informal dan non- formal. Sehingga, seorang siswa yang belajar dalam sebuah pesantren, akan selalu berada dalam titik aman dan jauh dari kontaminasi keburukan. Karena tiga unsur pendidikan yang dijalani kental dengan hawa reliji.
Namun, pesantren beberapa dekade terakhir sering dikritisi karena dianggap hanya mampu mencetak ulama-ulama bersarung saja. Legitimasi yang melekat pada pesantren pada akhirnya adalah hanya sebagai lembaga pendidikan konservatif yang tidak bisa mengikuti arus perkembangan zaman. Bahkan yang lebih menyedihkan, pesantren dianggap sebagai wadah untuk memupuk jiwa fanatisme, baik fanatisme politik, madzhab atau ritual.
Maka ke depan, pesantren diharapkan mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Harus selalu eksklusif; terbuka terhadap hal-hal baru. Sehingga ranah pengajarannya tidak hanya sebatas pada ilmu-ilmu agama saja, tapi juga meliputi ilmu-ilmu umum. Demikian itu adalah upaya realisasi dari falsafah; Al-Muhafadzatu ala al-qodim as-shalih, wal-akhdzu bil-jadid al-ashlah.
Pesantren yang telah dengan baik menerapkan falsafah di atas, akan dengan mudah mengikuti globalisasi zaman yang semakin tak terelakkan. Sehingga alumni-alumninya pun tidak hanya bersarung dan selalu identik di masjid, namun juga bisa mengisi seminar di gedung-gedung megah atau cerdas dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada, baik sosial, politik, ekonomi ataupun pendidikan.
Kriteria alumni yang intelek adalah alumni yang memiliki kapabilitas sebagai berikut; produktif menulis, lihai retorika, dan ahli metodologi. Ulama-ulama Islam klasik, pada zaman Abbasiyah dahulu adalah teladan elegan tentang bagaimana seorang alumni pesantren harus membentuk dirinya. Tokoh-tokoh Islam abad itu tidak hanya sekedar ahli agama, mereka juga menguasai berbagai cabang ilmu, baik kedokteran, filsafat, logika dan sebagainya. Dan yang lebih penting, mereka produktif dalam menulis, sehingga sampai sekarang, warisan keilmuan mereka tetap abadi.
Begitu halnya dengan retorika, kemampuan dalam berdakwah dan menyampaikan berbagai macam ilmu yang dikuasainya. Tanpa keterampilan beretorika, seorang ulama akan kesulitan mengakses ilmu-ilmunya pada umat. Dan yang terakhir adalah metodologi, yaitu kegemaran untuk terus belajar dan menelaah berbagai macam ilmu, sebagai pengamalan dari pepatah “never old to learn”.
Tidak cukup hanya tiga kriteria saja, melainkan harus ditopang dengan akhlak yang mulia. Karena apalah arti ilmu yang dimiliki, jika akhlak belum menghiasi hati. Dan salah satu dari pengejawantahan akhlak yang mulia yang paling mendapat sorotan, adalah toleransi dan menghargai perbedaan. Tidak fanatik dengan golongan tertentu, selalu moderat serta menyikapi semua perbedaan dengan cerdas. Islam telah menanamkan bahwa perbedaan yang ada adalah bentuk kasih sayang Tuhan. Sebab manusia memang diciptakan dengan potensi dan naluri yang berbeda-beda, sehingga ulama intelek juga harus pandai menyikapi perbedaan, tidak serta merta mengklaim kafir pada komunitas tertentu yang berbeda darinya.
Dan mimpi untuk mencetak ulama-ulama intelek yang moderat, tidak fanatik dan menghargai perbedaan itu harus selalu diupayakan. Di antaranya dengan; pembenahan kurikulum, penyediaan berbagai macam literatur di perpustakaan, dan tenaga pengajar.
Pertama, kurikulum yang diterapkan tidak semestinya terfokus pada satu madzhab tertentu. Santri diberi kebebasan untuk memilih apa yang ia yakini benar. Kedua, penyediaan berbagai macam buku, sehingga santri akan mengetahui betapa dunia ini dipenuhi dengan berbagai perbedaan. Baik perbedaan madzhab, suku, bahasa dan lain sebagainya. ketiga, adalah mempersiapkan tenaga pengajar, yang juga moderat. Yaitu guru yang selalu menghargai perbedaan dan tidak fanatik[11]

G.    Ciri – ciri Pendidikan Pesantren
Ciri – ciri pendidikan pesantren dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
a.       Adanya hubungan yang akrab antara santri dengan kiainya. Kyai sangat memperhatikan santrinya. Hal ini dimungkinkan karna mereka sama – sama tinggal dalam satu komplek dan sering bertemu baik disaat – saat belajar maupun dalam pergaulan sehari – hari. Bahkan, sebagai santri diminta menjadi asisten kyai.
b.      Kepatuhan santri kepada Kyai. Para santri menganggab bahwa menentang kyai, selain tidak sopan juga dilarang agama, bahkan tidak memperoleh berkah karena durhaka kepadanya sebagai guru.
c.       Hidub hemat dan sederhana benar – benar diwujutkan dalam lingkungan pesantren. Hidub mewa hampir tidak didapatkan dilingkungan pesantren. Bahkan sedikit santri yang hidubnya terlalu sederhana atau terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan pemenuhan gizi
d.      Kemandirian sangat terasa dipesantren. Para santri mencuci pakean sendiri, membersihkan kamar tidur sendiri, dan memasak sendiri.
e.       Jiwa tolong – menolong dan suasana persaudaraan (Ukhuwah Islamiyah) sangat mewarnai pergaulan dipesantren. Ini disebabkan selain kehidupan yang merata dikalangan santri, juga karna mereka harus mengerjakan pekerjaan – pekerjaan yang sama, seperti shalat berjamaah, membersihkan masjid dan ruangan belajar bersama.
f.       Disiplin sangat dianjurkan. Untuk menjaga kedisiplinan inipesantren biasanya memberikan sanksi – sanksi edukatif
g.      Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunnah, zikir, dan i’tikaf, shalat tahajut, dan bentuk – bentuk riyadloh lainnya atau menauladani kyainya yang menonjolkan sikab zuhd.
h.      Pemberiaan ijazah, yaitu pencantuman nama dalam suatu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri – santri yang berprestasi. Ini menandakan perkenan atau restu Kyai kepada murit atau santrinya untuk mengajarkan sebuah kitab setelah dikuasia penuh.
Ciri – ciri diatas mnggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuk yang masuh murni (tradisional). Adapun penampilan pendidikan pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus – menerus, sehingga lembaga tersebut melakukan berbagai adobsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tegasnya tidak relefan jika ciri – ciri pendidikan pesantren murni diatas dilekatkan kepada pesantren – pesantren yang telah mengalami pembaharuan dan pengadobsian sistem pendidikan moderen[12]
H.    Dinamika pesantren.
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18 bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren Pesantren pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya sikap non kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, hanya sekitar 3% penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia buta huruf. Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi Belanda serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum mendapat pendidikan.
Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300 buah. Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka membentuk le,baga pesantren di daerahnya masing-masing.
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama,peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. Kedua,menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
1.      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan  maupun yang juga memiliki sekolah umum. Seperti Pesantren Denanyar Jombang, Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.
2.      Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari Kediri, dan lain sebagainya.
3.      Pesantren  yang  hanya  sekedar  manjadi  tempat pengajian, seperti Pesantren milik Gus Khusain Mojokerto.
2.      Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta. kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencerabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.
I.       Kesimpulan
Pesantren bukan museum purba tempat di mana benda-benda unik dan kuna disimpan dan dilestarikan. Juga bukan penjara di mana tindakan dan pikiran dikontrol dan dikendalikan habis-habisan. Pesantren adalah "laboratorium" tempat segala jenis dan aliran pemikiran dikaji dan diuji ulang. Di dalamnya, tak ada lagi yang perlu ditabukan apalagi dikuduskan. Semuanya terbuka untuk diragukan dan dipertanyakan.
Pendidikan pesantren adalah pendidikan yang paling tepat untuk mencetak generasi-generasi bangsa yang unggul. Sebab di dalamnya, terdapat tiga unsur penting dalam pendidikan yang berjalan intens dan selalu berada dalam pengawasan tenaga pendidik.
1.      Formal
2.      informal dan
3.      non- formal.
Sehingga, seorang siswa yang belajar dalam sebuah pesantren, akan selalu berada dalam titik aman dan jauh dari kontaminasi keburukan. Karena tiga unsur pendidikan yang dijalani kental dengan hawa reliji.














DAFTAR PUSTAKA

A’la, Abd, “Pembaruan  Pesantren”, cet  I.  (Yogyakarta: PT.  LKiS Pelangi Aksara, 2006)
Abdullah, Taufik, “Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia”, cetakan 1, (Jakarta: LP3ES, 1987)
Daradjat, Dr. Zakiyah, “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979)
Muryono, Sigit, HS, Mastuki, Safe’I, Imam, Masyhud, Sulthon, Khusnuridho, Moh., “Menejemen Pondok Pesantren” , (Jakarta: Diva Pustaka, 2003)
Shofan, Moh., “Pendidikan Berparadigma Profetik”, (Jogjakarta: IRCio, D2004)
Yasmadi, “Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional”, (Jakarta: Ciputat Press. 2002)
http://id.wikipedia.org/wiki/pendidikan


[1]  Sigit Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulthon Masyhud, Moh. Khusnuridho, “Menejemen Pondok Pesantren” , (Jakarta: Diva Pustaka, 2003) h. 1 - 2
[3] Moh. Shofan, “Pendidikan Berparadigma Profetik”, (Jogjakarta: IRCio, D2004) h. 15 – 16
[4] Dr. Zakiyah Daradjat, “Ilmu Jiwa Agama”, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) h. 127 – 130
[5] Yasmadi, “Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap PendidikanIslam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press. 2002) h. 36
[6]  Sigit Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulthon Masyhud, Moh. Khusnuridho, “Menejemen Pondok Pesantren” , (Jakarta: Diva Pustaka, 2003) h. 1 - 2
[7] Taufik Abdullah, “Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia”, cetakan 1, (Jakarta: LP3ES, 1987), h 111
[8] Abd A’la, Pembaruan  Pesantren, cet  I.  (Yogyakarta: PT.  LKiS Pelangi Aksara, 2006.) h. 9
[9] Ibid. h 15 - 16
[10] Ibid. h 19
[12] Sigit Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulthon Masyhud, Moh. Khusnuridho, “Menejemen Pondok Pesantren” , (Jakarta: Diva Pustaka, 2003) h. 93 - 94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar